PENGINTEGRASIAN TASSAWUF DAN SASTRA



sumber: suhu pendidikan



"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada."

(Sapardi Djoko Darmono)

***

Sastra yang baik adalah apabila setelah ditulis melahirkan banyak interpretasi bagi penikmatnya, bukan yang sekali baca kemudian lenyap seketika; sirna. Dan lewat puisi pendek ini, yang konon proses pembuatannya hanya membutuhkan waktu lima belas menit, eyang Sapardi telah membuktikan eksistensinya sebagai salah satu tokoh sastrawan tekemuka di Indonesia.

Lewat puisi ini, Eyang Sapardi yang sekarang sudah tua renta—berkepala enam, hendak menggiring kita kepada pemahaman atas kesederhanaan cinta, tapi nyatanya? Faktanya? Realitanya? Eyang Sapardi terjebak dalam imajinasinya sendiri, bisa saja intuisi atau ilusi. Sebab apa? Lantaran aku yakin, seyakin-yakinnya yakin, cinta yang dikatakan, disimulasikan sederhana itu terbukti secara kongkrit, bahwa: tidak sesederhana itu. Kesederhanaan cinta hanya ada dalam imajinasi Eyang Sapardi dan tidak bisa di alam nyatakan, mungkin.

Penulis membaca puisi itu lima hingga tujuh kali, lalu masuk ke dalam proses perenungan. Di situ penulis mendapat sebuah kesimpulan sederhana, bahwa, cinta sebatang kayu kepada api bukan sesuatu yang layak diberikan predikat sederhana, itu sangat klise. Di saat api tak mampu hidup tanpa kayu, kayu rela meniadakan wujudnya. Anehnya, kayu memilih diam dalam pelukan hangatnya bara api. Bagi kayu, masa bodoh dengan ketiadaan, fana lalu menyatu dengan cinta jauh lebih baik dan lebih indah daripada abadi namun harus menanggung berupa keterpautan dengan cinta. Pengorbanan kayu yang rela menjadi abu nyatanya hanya untuk kebahagiaan sang api, yang sementara saja. 

Lalu, apa yang tersisa? 

Bisa saja bahagia, atau sekadar suka, dan bahkan mungkin lara seluas cakrawala.

Clear, dan lupakan sejenak perihal kayu dan api, toh kayu tetaplah kayu, dan api juga tetaplah api. Jika dipandang secara nyata, perjodohan mereka sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan asmara, kecuali kita memasuki ke jalan sunyi yang berisi ruang tafakkur untuk menghempaskan imajinasi. Mari kita sama-sama baca tulis buku lalu melihat dengan kacamata hakikat, karena itu pasti, lebih terang, dan (tentu) lebih jelas.

Pada zaman dahulu kala, dulu sekali, seantero tata surya pernah digegerkan oleh hantaman hingga meluluh lantakkan segalanya dari sebuah makhluk bertype manusia dengan jenis laki-laki yang berpredikat sebagai seorang sufi paling nakal, mbeling, dan nyentrik pada zamannya, Mansur al-Hallaj. Seorang pecinta hebat bahkan sampai teranggap gila di kalangan manusia pada umumnya. Bagaimana tidak dikatakan edane ora umum, atas nama cinta, beliau rela menghalalkan darahnya, mentalak dirinya sendiri, bahkan ikhlas saat dijatuhi vonis berupa hukuman mati. Lantaran dimabuk cinta, Hallaj tabah meminum darahnya sendiri. Baginya, inilah satu-satunya jalan yang paling nikmat dan nikmatnya mewakili seluruh nikmat yang pernah ada di dalam jagad raya. Di atas tiang yang terlihat mengerikan bagi siapapun yang melihatnya, Hallaj sang sufi nyentrik sukses merasakan sublimnya percintaan.

Sangat absurd, bukankah ini adalah kegilaan class of epic? Apakah ini subtansinya dari adagium wong edan bebas yang sedang populer di kalangan orang-orang masa kini?

Bagi manusia waras sekaligus normal tanpa cacat dhohir-nya tentu saja iya, karena kegilaan dan kewarasan adalah milik logika, dan logika dibuat luluh lumpuh lepuh dihadapan cinta. Okesip, lalu bagaimana dengan kengerian itu sendiri? Barangkali di antara kita ada yang belum pernah menegak secangkir kopi yang beraroma karsa kehidupan getirnya petani, yang diseruput oleh hingga mabuk kepayang seperti Mansur al-Hallaj. Cobalah sesekali, atau jika itu tidak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, cukuplah saja kita rasakan hangatnya menikmati secangkir teh di sore hari sambil menikmati senja yang membuat kita terbius, lalu melupakan beban-beban hidup apapun yang setiap dari kita pasti memikulnya. Duh Gusti, hai kawan, bukankah itu jauh lebih gila dan sangat mengerikan?

Coba bandingkan, lalu tafsiri, bukankah keabuan kayu demi api sama rumitnya dengan tragedi kematiannya Hallaj demi kekasihnya.

Lalu apanya yang sederhana?

Cinta selalu istimewa, rumit seperti labirin jika tak baca dengan ketulusan angin. Tak ada yang sederhana, seperti menulis surat di atas kertas sobekan setelah itu dilemparkan kepada seseorang yang kita incar, lalu dibalas dengan tulisan dibawahnya, sesungguhnya itu benar-benar dari golongan orang orang yang tak punya nyali mengungkapkan perasaan. Cinta tak ada yang sederhana, tapi bisa disederhanakan dengan filosofi matematika sebagaimana yang sudah diucapkan oleh Mbah Sujiwo Tedjo atau yang dikenal dengan sebutan Presiden Jancukers; yakni cukup tanpa itung-itungan atau menerima apa adanya, kalau masih pakai tapi-tapian dan karena-karena yang dibuat landasan untuk alasan bukan cintanya, tapi kalkulasi. Ya, cinta memang sederhana dan apa adanya, namun cinta tak akan membiarkan seadanya. Cinta memang begitulah kodratnya. Dan perasaan sebab merasa memiliki memang asu bagi cinta.

Lalu bagaimana dengan awan yang rela mati demi hujan, bahkan tanpa isyarat apa pun?

Sungguh, sampai di paragraf ini aku sudah kebahisan tenaga mendeskripsikan kekudusan dan kesederhanaan cinta. Jangan paksa aku menjelaskan, apalagi harus membandingkan dengan Ibnu Arobi, seorang filsuf kondang kelas kakap yang menyusul nama al-Hallaj sebagai daftar sufi nyentrik yang dijatuhi vonis hukuman penggal—yang fana dipeluk rindu.

Please jangan, rokokku sudah habis, staminaku kian terkikis, kopiku malah sudah surut telampau sadis sejak menuliskan judul yang sangat hiperbolis.


[Achmad Fauzi Nasyiruddin/0319]

1 komentar untuk "PENGINTEGRASIAN TASSAWUF DAN SASTRA"