Jalan Pulang ke Rumah Ibu

 


lukisan willem de kooning



Andai hukum kisas berlaku, mungkin aku sudah terkubur di dalam liang berukuran dua kali satu meter. Dibungkus kain putih polos yang akan koyak dicerna tanah. Menjadi satu dengan binatang setelah dimangsa oleh cacing dan semut. Tersisa tulang-belulang yang menyesali jalan kehidupan yang pernah ditapaki.

 

Aku tak pernah berharap akan menghirup udara luar secepat ini. Lagu kebangsaan yang mengalun di penjuru negeri setiap tahun telah mengikis masa perenunganku. Hingga tahun ini, pemimpin negara secara tak langsung mengirim langkah pertamaku setelah bertahun terkurung di balik jeruji.

 

Seorang sipir mendekat sambil menenteng sebuah tas plastik hitam. Aku tersenyum tipis dan mengangguk dangkal. Lelaki itu tak sengaja jadi istimewa bagiku. Dia, satu-satunya orang yang menyaksikan saat aku ditampar oleh Ibu dua bulan lalu. Ibuku—wanita berhati kapas yang tak pernah membentak—mendadak main tangan. Sebuah kalimat pun meluncur cepat dari sela bibirnya, dan tertancap tepat di jantungku. Seusai melaksanakan penghakiman, Ibu meninggalkan aku duduk terpaku di kursi. Dia bahkan tak mengucap salam. Apakah aku telah jatuh amat rendah di hadapannya?

 

Aku bangun, berdiri tegak lalu menghela napas panjang dalam-dalam. Aku berbalik, menuju pintu keluar, mungkin lebih tepat disebut pintu masuk. Saat itulah sipir itu tersentak, dia memberi isyarat mengusap bawah mata kanannya dengan jempol. Refleks, aku merespons. Ternyata ada bulir air yang tersapu.

 

Ah, kenapa ia peduli padaku? Apa aku tampak menyedihkan?

 

Nasib buruk ini bermula ketika Ibu menolak Gina menjadi menantunya. Ibu bilang, “Ibu gak suka sifatnya. Dia akan membuatmu sengsara!

 

“Tapi, Bu! Aku mencintainya. Aku akan berusaha membimbingnya.”

 

Namun, tak satu rayuan pun yang mengubah penilaian Ibu. Aku yang telah dibutakan cinta, melontarkan bentakan yang kusesali selamasisa umurku.

 

“Aku akan menikahi Gina! Aku tak butuh wali, apalagi restu Ibu!”

 

Acara pernikahanku dan Gina berjalan lancar, meski tanpa kehadiran Ibu. Keluarga istriku dan kerabat dekat sudah cukup mengisi kemeriahan pesta resepsi.

 

Aku pun menjalani rumah tangga yang bahagia bersama Gina. Sambil menunggu kehadiran buah cinta, kami disibukkan dengan bisnis pengiriman paket.

 

Tiga tahun berlalu, kami masih sabar menunggu kehadiran bayi di antara kami. Namun, tidak bagi keluarga Gina. Mereka menuntut agar kami berusaha lebih giat untuk memiliki anak. Berbagai macam obat dan metode alternatif mereka sodorkan. Brosur program kehamilan dari banyak dokter dan rumah sakit mereka tawarkan.

 

Aku lelah.

 

Suatu pagi, aku mendapati pintu kios terbuka. Ada bekas goresan dekat gagang pintu. Dengan perasaan was-was, aku memeriksa laci meja di sudut ruangan belakang. Tumpukan uang yang akan disetor ke bank raib.

 

“Sial! Aku kemalingan!” rutukku dalam hati.

 

Segera kuperiksa rekaman kamera pengawas untuk melihat apa yang terjadi semalam. Saat kubuka folder, tak ada satu pun video yang merekam kejadian semalam. Aku perhatikan kamera pengawas yang terpasang di sudut ruangan dekat pintu masuk. Ternyata kameranya mati.

 

Di tengah pikiran yang kacau balau, aku berusaha menenangkan jantung yang berdegup kencang. Aku tak ingin hipertensiku kambuh. Aku pun segera pulang dan menceritakan kejadian ini pada Gina. Dan karena serumah, mertuaku juga tahu. Kami segera melapor ke pihak berwajib agar si maling bisa segera ditangkap.

 

Untuk menutupi uang yang hilang, aku harus berutang ke bank. Di tengah situasi sulit ini, kusadari ada yang tak biasa terjadi. Gina yang biasanya berpakaian dan berdandan sederhana, berubah menjadi sosok yang lain. Setiap pulang dari bertemu dengan temannya, dia selalu membawa pakaian baru. Terkadang sepaket produk perawatan wajah.

 

Saat kutanya dapat dari mana, dia menjawab, “Arisan teman SMA!”

 

Sewajarnya, arisan hanya bisa keluar paling tidak sebulan sekali. Setahuku, Gina paling banyak hanya ikut dua. Arisan model apa yang bisa membuat istriku mendapat barang baru empat kali dalam dua bulan?

 

Di bulan ketiga, kecurigaanku memuncak. Aku mencecar Gina agar berkata jujur. Semakin lama nada suara kami meninggi, seiring dengan menipisnya kesabaranku. Tak peduli mertuaku mau dengar atau tidak, ini masalah rumah tangga kami. Mereka pasti tahu jika ikut campur dalam masalah kami, aku tak akan tinggal diam.

 

Sejak hari itu, hubunganku dan Gina merenggang. Pandangan sinis orang tuanya membuatku semakin sumpek. Akibatnya, aku lebih memilih kios pengiriman paket dan warung kopi sebagai tempat membuang waktu.

 

Sebulan kemudian hari naas itu tiba. Mertuaku sedang berkunjung di rumah kerabat. Mereka menginap karena lokasinya di luar kota dan ada acara keluarga. Aku jelas malas ikut. Sedang Gina, dia sibuk mengurusi entah apa pun itu. Aku tak peduli.

 

Siang itu udara sangat panas dan lembap, aku merasa kurang nyaman dengan baju yang kupakai. Sehingga kutinggalkan kios sebentar untuk pulang ganti baju. Tepat sebelum membuka pintu, aku mendengar Gina menyebutku “bodoh”.

 

“Iya, nih! Aku juga heran, kok bisa dulu aku menyukainya. Apa? Iya sih, dulu kukira dia kaya, eh ternyata ... Ahahaha! Iya, tenang aja! Semua aman! Uangnya sudah berubah bentuk! Kapan pun kamu butuh, tinggal jual aja! Ha? Ya iyalah! Gina gitu, loh!”

 

Lengkingan tawa istriku itu membuat darahku mendidih. Hampir pecah kepalaku, jika tak kulampiaskan dengan membanting pintu.

 

“Uang apa yang kau maksud, hah?!” sergahku.

 

Gina menoleh dan buru-buru mengakhiri panggilan, lalu menyembunyikan ponselnya di balik punggung. “Apa sih? Pulang-pulang teriak!”

 

Aku berusaha merebut ponsel dari tangan wanita yang dulu kunikahi karena cinta. Aku mengecek panggilan terakhir dan memanggil nomor tersebut. Kedua tangan Gina berusaha meraih ponselnya di tangan kananku. Kutepis keras tubuh wanita itu dengan tangan kiri hingga ia terdorong dan jatuh terduduk di lantai.

 

Panggilan tersambung.

 

“Hei! Kenapa tadi kamu matikan? Aku butuh uang besok! Temui aku di tempat biasa.”

 

Suara lelaki itu terdengar familier, tapi aku tak bisa menebak siapa pemiliknya. Segera kumatikan telepon dan mulai menginterogasi Gina.

 

“Siapa ini?” Aku tunjukkan nomor kontak lelaki itu.

 

“Bukan urusanmu!” jawabnya ringan sambil melengos. Seakan tak berdosa, Gina berdiri lalu melenggang ke arah kamar.

 

Urat sabarku putus. Kutarik rambutnya hingga dia menjerit dan merintih kesakitan. Wanita itu memuntahkan sumpah serapah yang tak pernah kubayangkan akan keluar dari bibirnya yang molek.

 

“Dasar gila! Aku minta cerai! Udah kasar banyak utang pula!” Gina mendengkus setelah melepas cengkeramanku. “Aku cape jadiistrimu! Kukira tabunganmu banyak! Ternyata seuprit! Baru dipake dikit dah abis!”

 

“Apa katamu?”

 

“Apalagi? Di dunia ini yang dibutuhkan hanya uang dan kekuasaan. Aku bukan orang yang berkuasa, jadi harus punya banyak uang! Aku ingin bahagia, Mas! Tapi, apa? Ternyata aku salah pilih suami!”

 

Aku gelap mata. Kutekan kuat-kuat leher Gina. Dia terus memberontak dan memukul-mukul tubuhku. Mendorong wajahku menjauh, bahkan berusaha mencekikku. Namun, tak lama kemudian, dia berangsur-angsur tenang, lalu diam tergelak di lantai.

 

Hal yang kuingat selanjutnya adalah tangisan dan amarah mertuaku. Lalu kantor polisi, penjara, pengadilan, dan penjara lagi.

 

Selama menjalani hukuman, hanya satu orang yang datang. Ibu. Wanita yang telah kumiliki ini tak pernah berbicara sepatah kata selain, “Makan dan habiskan sekarang juga!” Kalimat yang tertuju pada sebungkus nasi dan lauk tahu tempe goreng, kulupan, dan sedikit mi goreng jawa.

 

Ibu datang sebanyak sembilan kali selama empat tahun enam bulan. Namun, kunjungan terakhirnyalah yang paling berkesan. Kalimat yang dia ucapkan masih terdengar jelas di telingaku. Setelah menepuk keras pipi kiriku, Ibu berkata, “Inilah hukuman setimpal bagi anak yang menyakiti hati ibunya dan membunuh istrinya!”

 

Ibuku, yang selalu menganggap dirinya bodoh, tak pernah hilang bersemangat mengikuti pengajian di masjid dan musala. Mencatat dan menerapkan apa yang baru dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Sejak Bapak kembali ke sisi Sang Pencipta, Ibu lekas membagi warisan. Dia bilang takut makan harta anak yatim. Aku yang baru akil balig tak terlalu memahami maksudnya. Aku hanya paham Ibu telah membuatkanku buku tabungan bank.

 

Ibuku, wanita luar biasa yang melawan kerasnya hidup sendirian demi aku, seorang anak yang akhirnya durhaka. Aku sangat menyesal dan sangat merindukan kehadirannya saat ini. Namun, aku tak berani menemuinya.

 

Dalam perjalanan pulang, aku singgah di sebuah masjid. Melepas lelah lahir batin. Seusai salat, aku duduk bersila, bersandar di tiang teras masjid. Kubuka tas plastik yang diberikan sipir sesaat sebelum aku keluar gerbang penjara. Aku penasaran apa isinya.

 

Ada sebuah Alquran terjemah, tiga helai sarung, sebuah sajadah, dan tasbih. Saat kubuka sampul Alquran, kutemukan sebuah amplop putih. Ada sebuah kertas di dalamnya. Begitu kubuka dan melihat tulisannya, aku tahu, ini goresan tangan Ibu.

 

***

 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

Anakku sayang, apa kabar? Semoga kamu selalu dalam lindungan Gusti Allah. Maafkan Ibu ya, Nak! Ibu tidak bilang kalau mau menitipkan tas ini pada Pak Petugas.

 

Ibu mau minta maaf sudah menamparmu kemarin. Ibu sengaja melakukannya agar kamu bisa menebus dosamu. Ibu tidak tega membayangkan kamu dihukum di akhirat kelak. Tersiksa api yang panas.

 

Anakku sayang, kamu pasti ingat bagaimana cerita sakitnya Ibu saat melahirkanmu dulu. Hingga Ibu tidak bisa punya anak lagi. Di jaman dokter masih jarang, Ibu sudah melakukan operasi pengangkatan rahim. Bapakmu harus jungkir balik mengumpulkan uang agar kamu dan Ibu selamat.

 

Saat kamu membentak Ibu waktu itu, rasanya jauh lebih sakit dari pada saat melahirkanmu. Kamu lebih memilih cinta kekasihmu daripada cinta Ibu. Jika tidak ingat Gusti Allah, kutukan pasti keluar dari lisan Ibu.

 

Tapi, apa kamu tahu, Nak? Hati Ibu puluhan ribu kali lebih sakit saat melihatmu tersesat hingga menyakiti diri sendiri. Jalan yang kamu pilih memang terlihat indah, banyak bunga mawar di tepinya. Begitu indah, hingga kamu tidak sadar sudah menginjak duri-duri tajam. Saat tersadar, kaki sudah penuh dengan luka dan darah.

 

Anakku sayang, kembalilah ke jalan Gusti Allah! Yakinlah pada janji ampunan-Nya! Meski jika nanti ada kesulitan dan kesempitan, jangan menyerah! Berdoalah selalu! Mintalah hal yang baik untuk dirimu! Pasrahkan dirimu!

 

Ibarat paket, doamu pasti terkabul! Cepat atau lambat pasti datang padamu di waktu yang tepat.

 

Maaf, tidak bisa mengatakan semua ini secara langsung. Ibu takut tidak ada waktu menunggu sampai kamu bebas.

 

Sampai di sini saja, ya! Ibu lelah menulis, he he he!

 

Berbahagialah selalu Anakku sayang! Ibu memaafkanmu! Doa Ibu selalu bersamamu!

 

Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh

 

Dari Ibu yang selalu mencintaimu

 

***

 

Seorang pria berwajah kuyu tiba berdiri, menuruni tangga masjid dengan cepat, lalu berlari sambil mengerang. Dia meninggalkan barang bawaannya di teras, bahkan sepasang sendal jepitnya masih terparkir rapi di depan area wudu. Seakan dipandu gawai penunjuk arah, dia melesat, berbelok, menikung tajam. Jalan besar, jalan desa, bahkan jalan tikus. Rupanya dia sangat mengenal daerah itu.

 

Akhirnya dia berhenti di depan sebuah pintu gerbang tanpa daun. Dia masuk perlahan, menengok kanan kiri. Memindai semua tulisan yang tertera di permukaan. Dia berjalan semakin dalam, menyusuri setiap petak. Hingga menemukan tempat tujuannya seraya meneteskan air mata. (*)

 

 

Nio Zaharani.  Bergabung dengan Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk dan One Day One Post. Cerpennya, “Jabat Tangan 50 Juta” dimuat di ngodop.com. Guru Bahasa Indonesia di SMP N 1 Loceret ini terpilih dalam 50 besar lomba novelet NAD-Rakathon 2021.

5 komentar untuk "Jalan Pulang ke Rumah Ibu"

Comment Author Avatar
Cerpennya menyentuh sekali..... Semangat berkarya mbak Nio.
Comment Author Avatar
Alhamdulillah

Terima kasih, Mbak Muhima πŸ™
Comment Author Avatar
Duh kamu memang hebat Mbak Nio😍