Surga Kecil yang Dihancurkan




Aku pergi ke danau itu dan membuang sebutir kenangan. Berencana untuk tidur sejenak. Di kawasan itu tiap sore warga kota yang menganggur atau pulang kerja, duduk berlama-lama, sendiri atau dengan teman-teman. Aku tidak pernah ke sini bersama Mariana dan tidak akan pernah hingga kiamat kelak. Untuk itulah aku sudah tidak lagi peduli.

 

Sebutir kenangan itu kudapat dulu, bertahun lalu, berkat pengembaraanku ke hutan di pedalaman di mana para peneliti membangun tenda-tenda dan tidur di tempat ala kadarnya demi kemajuan ilmu pengetahuan. Aku terlibat, tetapi bukan memegang peranan besar; aku hanya seorang pengantar yang dibayar untuk membuka jalan bagi para peneliti tersebut. Mereka mengambil sampel entah tumbuhan jenis apa sebelum akhir bulan. Jika tidak bergegas memotong jalan, mereka bisa terjebak badai dan tak bisa pulang dalam waktu dekat.

 

Dalam tugasku itu aku mengenal Mariana, salah satu bagian dari kelompok tersebut. Dia satu-satunya yang vokal menyuarakan pelestarian lingkungan dan sebagian teman penelitinya terang-terangan mendebat wanita itu, walau jelas mereka tahu akan kalah.

 

Mariana wanita yang sangat cerdas, keras, sekaligus baik, terutama bagi orang sepertiku, yang menurutnya kurang mendapat asupan pengetahuan yang cukup lantaran tinggal di pedalaman. Hanya saja, dia belum tahu aku bukanlah berasal dari pedalaman ini. Aku petualang yang terjebak di sini dan jatuh cinta dengan pedalaman ini. Asalku dari kota yang tidak terlalu jauh dari kota Mariana dan aku tergolong kutu buku.

 

Mendapati responsku atas obrolan-obrolannya padaku, aku rasa Mariana mulai mengagumiku. Kami jadi sering bersama saat kelompok mereka terlelap di perjalanan pulang. Tak tahu bagaimana mulanya, kami menulis janji untuk bertemu lagi suatu hari nanti kalau ada waktu.

 

Sebutir kenangan itu kumiliki setelah pertemuan kami yang ketiga di kota di mana Mariana menyelesaikan pendidikannya dan bekerja di suatu laboratorium sebagai satu dari segelintir peneliti muda yang mencoba menemukan serum khusus untuk mengobati kanker darah dengan cara lebih efektif. Kami tentu tak bicara soal hutan atau obat atau apa pun yang membawa kami bertemu; kami lebih suka membahas hidup dan perjalanan kami hingga sampai di titik ini.

 

Aku tak tahu apa yang bisa kuberi untuk Mariana sebagai kenangan, tetapi dia, memberiku sebutir itu. Sesuatu yang sangat berharga, yang kelak, ketika kami terpaksa harus berpisah, harus kulepas pula benda itu dengan hati yang terluka parah. Namun, kisah sedih itu belum terjadi sampai bertahun-tahun terlalui.

 

Aku dan Mariana tak ingin menikah, tetapi kami sudah memiliki ikatan dan tak ada yang bisa memisahkan kami. Kami bahkan pernah nyaris memiliki bayi. Namun, dia keguguran dan dokter mengatakan kami tak akan bisa memiliki bayi lagi. Mariana bilang, itu tak masalah. Lagi pula, kami bersama bukan untuk itu.

 

Memang betul. Kami bersama bukan untuk 'sekadar memiliki bayi'; kami bersama untuk sesuatu yang kami yakini lebih abadi daripada sekadar merawat buah hati hasil persetubuhan. Entah bagaimana menjelaskannya, tetapi kami tahu kami tidak akan bisa berpisah tanpa salah satu dari kami harus terluka.

 

Kami merasa kami saling lekat dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Suatu ketika Mariana dilabrak saudara-saudaranya karena cara kami menjalin hubungan tidak sehat dan melanggar norma yang berlaku di mata mereka.

 

Kata Mariana, "Itu bukan urusan kalian. Akan lebih baik jika kalian rawat dan jaga rumah tangga kalian tanpa harus memintaku terjun ke jurang yang sama!"

 

Aku mengerti maksud Mariana, dan inilah yang membuat penyatuan kami berdua semakin kuat. Kami sama-sama tidak meyakini bahwa pernikahan akan membawa dua anak manusia menuju kebahagiaan hakiki. Kami hanya percaya, bahwa dengan bersama dan merawat penyatuan tubuh-jiwa, kami bisa lebih bahagia daripada seluruh pasangan yang ada di bumi ini. Memang itulah yang kami rasakan.

 

Aku merasa surga benar-benar kami ciptakan. Kubayangkan rumah yang kutempati bersamanya adalah sebidang tanah dan kami berdua secara rutin menanam tumbuhan di sekeliling batas terluar; tumbuhan-tumbuhan ganas dan pemangsa daging agar tidak ada orang lain datang dan mengusik kebersamaan kami. Dan, tentu, di pusat dari tanah itu kami bangun sebuah bungalow. Ada kolam ikan juga, serta beberapa jenis tumbuhan herbal dan sebentuk kecil jendela untuk sesekali menengok keluar agar kami tetap tahu apa saja yang terjadi di luar surga. Kami merasa lebih dari cukup hidup di situ, dengan hanya ada kami berdua saja. Tanpa siapa pun.

 

Sayangnya, suatu hari, keadaan ini tiba-tiba diubah oleh badai dari berbagai sudut. Orang-orang menghakimi. Orang-orang membenci kami. Kami dianggap tak takut dosa dan tak tahu apa itu surga dan neraka.

 

Mariana marah dan menyembur mereka: "Ini surga kami! Enyahlah!"

 

Orang-orang itu membawa sepasukan nyawa dalam jumlah yang luar biasa besar. Mereka menenteng berbagai kitab suci, senjata-senjata mulai dari pisau, pistol, bazooka, dan bahkan ada yang membawa tank untuk merobohkan surga mungil yang kami ciptakan dengan cinta dan kasih sayang ini.

 

Ketika surga itu hancur, yang pertama merangsek ke barisan depan para pengepung adalah saudara-saudara Mariana. Mereka merenggut perempuan itu dengan paksa hingga terluka oleh pukulan mereka. Aku tak sadarkan diri untuk beberapa lama karena dihantam dan baru sadar setelah keadaan sangat sepi. Di sisiku, tergeletak sebutir kenangan itu. Sesuatu yang dahulu kudapat setelah mendapatkan cinta Mariana. Sesuatu yang sepertinya harus kubuang, jika aku tak bisa mendapat tubuh dan jiwanya lagi.

 

Hanya saja, upaya-upayaku demi mendapat kembali Mariana selalu terjegal. Di kota di mana laboratorium itu mempekerjakannya, aku diusir terang-terangan, padahal dulu sebagian para peneliti itu begitu baik ketika pertama kami kenalan.

 

Di rumah orang tua Mariana, aku dimaki habis-habisan. Kata sang ayah, "Mariana tidak di sini! Dia bukan bagian dari kami dan sudah lama mati, bahkan sebelum kuburannya digali!"

 

"Apa maksud Anda?"

 

"Kamu setan biadab yang membunuh anakku! Pergi!"

 

"Saya tidak tahu maksud Anda?! Di mana Mariana!"

 

"Kamu yang membunuh anakku! Kamu renggut masa depan dan seluruh harapan kami darinya! Pergi! Kupanggil polisi atau kutembak kepalamu sampai bolong?!"

 

Jika saja boleh memilih, demi mendengar kabar kematian Mariana setelah dia dijemput paksa oleh para saudaranya itu, aku lebih suka agar lelaki tua nan gagah ini tak ragu untuk membolongi kepalaku. Jadi, aku berdiri saja di sana, di teras rumah mereka, dan tak pergi meski dia memanggil sejumlah orang untuk melukaiku dengan kata-kata buruk.

 

Setelah sejam lamanya, tibalah polisi. Mereka menggelandangku, tapi tak membawaku ke penjara. Hanya memulangkanku ke rumahku, yang tak lagi jadi surga, karena tak ada Mariana. Mereka memberiku peringatan supaya jangan kembali ke rumah orang tua wanita yang kusayangi itu.

 

Beberapa hari berlalu, tak ada yang kulakukan selain mengurung diri dalam kamar dan menyesali beberapa hal yang tak kami lakukan. Seharusnya kami tak pernah membangun surga ini di sini. Seharusnya kami melakukan sesuatu yang lebih aman; pergi sejauh mungkin, lalu membangun surga yang lebih besar di luar sana. Aku tahu di kepala Mariana, dulu, sempat terbersit pemikiran untuk pindah ke luar negeri.

 

"Tidak ada harapan jika tetap di sini," ucapnya suatu ketika.

 

Hanya saja, kami tak bisa begitu saja pergi. Banyak tugas dan kewajiban yang harus kami tuntaskan dulu, dan itulah kenapa kami terlena dengan surga sementara. Saat surga itu diporak-porandakan dan Mariana terenggut dariku, yang tersisa hanya sebutir kenangan. Sebutir kenangan berupa gigi seseorang yang tanggal dari tempatnya. Mariana keras kepala dan aku pun sama. Kami dihajar habis-habisan oleh keenam saudaranya agar surga mungil kami rusak dan wanita itu bisa mereka bawa pulang. Aku masih bertahan, sedang wanita yang kusayang itu tidak.

 

Sampai hari ketika kubuang gigi Mariana ke danau di pinggiran kota, aku belum tahu di mana jasadnya yang indah dikubur. Setelah membuang sebutir kenangan tersebut, aku tidur di tepi danau seperti warga kota biasa, tapi kuharap mataku tak lagi melek. Kuharap aku tidur hingga tengah malam, lalu ada gelandangan atau maniak atau siapa pun menemukanku dan menusukku untuk uang atau sesuatu yang mereka pikir berharga, atau sekadar menusukku untuk bersenang-senang atau merasa lebih suci. Aku tak peduli. Aku hanya tahu tak ada lagi yang terbaik untuk saat ini selain menyusul dia yang kucintai. (*)

 

Gempol, 2019-2024

 

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media sejak 2012. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024).

 

Ilustrasi berjudul Biarkan Tenggelam karya NIO ZAHARANI, pengajar di SMPN 1 Loceret, aktivis seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.

2 komentar untuk "Surga Kecil yang Dihancurkan"

Comment Author Avatar
Bang Ken Hanggara cerpennya selalu keren