LINTANG KEMUKUS DI ATAS KUBAH LANGGAR
Tubuh
Sundari menggigil di pojok bilik. Dia tak dapat menyembunyikan rasa takut yang
kembali membekapnya. Ketakutan yang selalu hadir saat kokok ayam pertama
terdengar, bersamaan ketika dari langgar1)
di ujung desa, suara panggilan sembahyang penganut ajaran Kanjeng Rasul dilantun-langitkan.
Bukan. Sundari bukan takut dengan suara Modin2) Sangid—panggilan
orang-orang Desa Rowolingi kepada Said Hasan—seorang pamong tua
yang juga takmir langgar, tetapi, hatinya terasa diiris-iris kembali setiap mendengar suara pemuka ajaran Kanjeng Rasul di desanya itu. Suara yang dilantunkan dari
kubah langgar.
Dini
hari itu, untuk sekian kali, Sundari kembali menutup kedua lubang telinga.
Butir-butir keringat keluar dari dahi dan pelipis. Napasnya naik turun tak
beraturan. Pelupuknya kembali basah oleh genangan air mata.
“Gusti,
paringana kula kasabaran,”3)
ratap Sundari dengan bibir bergetar.
Samar-samar,
di benak perempuan itu melintas bayangan masa lalu. Bayangan seorang lelaki
bertelanjang dada, hanya mengenakan celana kolor kumal berwarna coklat. Matanya
tampak berkaca-kaca. Masih sama persis dengan penampilannya ketika suatu tengah
malam, Sundari dengan deraian air mata meninggalkan lelaki itu.
“Larilah,
Wuk4) ... cepat lari!” ucap
Tedjo kala itu, lelaki yang baru empat bulan menjadi suami Sundari.
***
Nganjuk, pertengahan September
1965.
Malam
itu adalah malam Sukra Kasih.5)
Langit di Desa Rowolingi menggelap. Sejauh mata menatap ke atas, hanya
kekelaman yang tampak begitu merata. Pada setiap sudut bentang angkasa, tiada selain
kegelapan saja yang dijumpai. Tak ada pemandangan apapun di atas langit sana.
Rembulan benar-benar telah menyembunyikan diri. Bahkan, gemintang juga tiada
menampakkan pendar cahayanya, walau hanya sekerlip.
Malam
itu adalah titik tilem.6)
Malam di mana bulan tengah menuju titik akhir masa peredarannya di bentang
cakrawala. Malam terakhir dari Wuku Julungwangi.7)
Tak ada satu orang pun yang keluar rumah pada malam itu. Mereka lebih memilih
untuk menghabiskan malam di dalam rumah masing-masing. Menunggu hingga pagi tiba,
saat matahari muncul di ufuk timur.
Kegelapan yang membekap desa, mendadak
pecah oleh sebuah cahaya benderang di langit sisi utara. Letaknya berada tepat
di atas kubah langgar. Ekor sinarnya memanjang sekitar sepuluh depa orang
dewasa. Ia muncul menjelang suara panggilan sembahyang para penganut ajaran Kanjeng
Rasul dilantun-langitkan. Ketika itu, kokok ayam belum terdengar satu pun.
“Lintang Kemukus8) ... lintang kemukus ... ada lintang kemukus!” Kang Dirgo berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Lelaki paruh baya yang awalnya bermaksud merapikan diang9) di kandang sapi, kaget oleh kemunculan benda langit yang bersinar terang.
Sontak,
keheningan dini hari itu berubah menjadi kegaduhan. Orang-orang berhamburan keluar
dari rumah. Dalam sekejap, jalan desa telah penuh oleh penduduk yang
menyaksikan kemunculan lintang kemukus. Sebagian dari mereka takjub oleh
keindahannya. Sebagian lagi, terutama orang-orang tua mengelus dada dan saling
berbisik.
“Paringi kaslamêtan,10)
Gusti.” Begitu bunyi doa yang keluar dari mulut mereka.
Bagi orang-orang Rowolingi,
kemunculan lintang kemukus dipercaya sebagai tanda akan datangnya sebuah pagêbluk.11)
Bisa juga akan terjadi peristiwa kelam, musibah dan marabahaya.
Kegaduhan orang-orang Rowolingi
akhirnya mereda, setelah seorang lelaki muda, berusia sekitar dua puluh lima
tahun, datang dari arah langgar, lalu menghampiri kerumunan. Dia mengenakan
kopyah hitam. Berbeda dengan kebanyakan lelaki seusianya yang memakai Udêng12)
sebagai ikat kepala. Belitan kain sarung juga menutupi kakinya hingga di bawah
lutut.
“Sampun-sampun,
mbotên
wontên punapa-punapa.13)
Ini fenomena alam biasa, Sêderek-sêderek.14)
Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak perlu panik begini. Ayo kembali pulang
ke rumah masing-masing. Sebentar lagi waktunya Subuh,” ucap lelaki berkain
sarung, mencoba menenangkan orang-orang desa.
“Sangid?” bisik orang-orang.
“Kang
Sangid, kaukah itu?” sapa Sundari.
“Iya,” jawab Said, acuh.
“Bagaimana kabarmu, Kang?”
“Alhamdulillah, baik.”
“Waktunya
Subuh, aku ke langgar dulu.”
Said
meninggalkan Sundari yang memerah pipinya. Perempuan desa yang lima tahun lalu menangis
sesenggukan, ketika anak sulung Modin Ngabdul Muntaha berpamitan akan pergi
mondok ke Jombang itu, hanya berdiri mematung. Mata Sundari tak berkedip, menatap
kepergian laki-laki yang dulu pernah singgah di hatinya, hingga tubuh Said hilang
ditelan kelokan halaman langgar.
"Kang Said sudah berubah. Dia menjadi acuh sekarang. Sepertinya mulai lupa denganku."
Suara hati Sundari menggerutu.
"Bukan. Bukan Said yang berubah. Tapi kamulah yang berubah, Sundari. Sekarang kamu telah menikah dengan laki-laki lain. Tedjo."
Tiba-tiba suara hatinya yang lain
memprotes.
Iya,
kepergian Said yang tiada kunjung kembali, sempat membuat Sundari linglung.
Empat tahun lebih dia menunggu kabar. Umurnya yang telah menginjak dua puluh
tahun, membuat simbok dan bapaknya malu, karena Sundari belum juga mendapatkan
pinangan dari seorang laki-laki pun.
Desakan
terus menerus dari simbok dan bapaknya agar menerima Tedjo, akhirnya berakhir
dengan sebuah pernikahan di hari Anggara
Manis16) bulan Jyesta.17) Sundari menjadi
istri seorang jejaka desa yang menurut bapaknya calon orang penting, karena
sering mengikuti pertemuan-pertemuan di kecamatan. Pemuda Rakyat,18) begitu pengakuan Tedjo kepada keluarga
Sundari, ketika ditanya tentang kasak-kusuk kesibukannya.
Namun,
pernikahan dengan Tedjo justru menjadi awal dari kekelaman nasib Sundari.
***
Dua
bulan semenjak kemunculan lintang kemukus di atas kubah langgar Rowolingi,
peristiwa yang ditakutkan orang-orang menjadi kenyataan. Puluhan orang
berpakaian serba hitam, bersenjatakan pedang, golok, dan celurit mendatangi
Darmo Grawak, seorang yang sehari-hari senang memasang bentangan kain
bertuliskan Barisan Tani Indonesia19)
di halaman rumahnya.
Di
hadapan istri dan ketiga anaknya, Darmo Grawak dihabisi. Mayatnya diseret oleh orang-orang
berpakaian serba hitam, lalu dibuang di kali pinggir desa.
Keesokan
harinya, Rowolingi gempar.
Sangid
pelakunya!
Begitu
desas-desus yang berkembang di desa. Malam hari saat kejadian, banyak yang
melihat teman-teman Said berdatangan ke rumahnya. Entah, mereka berasal dari mana.
Yang jelas, semuanya mengenakan baju dan celana berwarna hitam.
Malam
ketiga, Sundari menangis sesenggukan di hadapan suaminya. Tedjo mengaku bahwa dia juga menjadi incaran
orang-orang berpakaian hitam. Bukan mustahil, malam itu giliran dirinya yang
akan dibunuh.
“Tidak
mungkin Kang Sangid setega ini menyakitimu. Semua ini aku yang salah. Kang
Tedjo tidak tahu menahu tentang hubunganku dengannya,” sesal Sundari dengan air
mata berderaian.
“Ini
bukan masalah hubungan masa lalumu dengan Sangid, Wuk. Ini soal pergaulan
suamimu yang salah memilih kawan,” jelas Tedjo, sambil mendekap tubuh istrinya.
Tedjo
melepaskan pelukan dari tubuh Sundari, ketika sayup-sayup dia mendengar langkah
puluhan orang memasuki halaman. Makin lama, kaki-kaki itu terdengar kian
mendekati pintu rumahnya.
“Wuk,
saatnya kamu pergi ... lari sejauh-jauhnya dari Rowolingi ... mintalah
perlindungan kepada KKO20) di kecamatan ... cepat, Wuk!” ucap Tedjo
dengan nada meminta.
“Tidak,
Kang. Aku tidak akan pergi,” bantah Sundari.
“Kang
Tedjo mohon, Wuk. Selamatkan dirimu ... Cepaaattt!”
“Kutunggu
kamu di sela matangkêp,22)
Wuk,” bisik Tedjo.
Terdengar
pintu rumah digedor berkali-kali. Tedjo menempelkan jari telunjuk ke bibir
Sundari. Memberi isyarat bahwa jangan sampai mengeluarkan suara. Pelan-pelan,
dia mendorong tubuh istrinya menjauh, lalu menunjuk ke arah pintu belakang
rumah.
“Keluar
kamu, Tedjo ... cepat keluar!” Teriak seseorang dari depan pintu.
Seketika,
Sundari berjalan mengendap-endap meninggalkan Tedjo. Sampai di pintu belakang,
dia menoleh. Suaminya memandang dengan mata membanjir.
“Selamat
jalan, Kang Tedjo,” tangis Sundari dalam hati.
Perempuan
yang belum genap lima bulan menjadi istri Tedjo itu terus berlari ke pekarangan
belakang rumah. Sampai di rerimbunan bambu, dia berhenti sesaat, lalu kembali menoleh
ke belakang. Terdengar suara keributan. Hanya sebentar, setelah itu berakhir
dengan jeritan panjang menyayat hati.
Di
dalam rumah, tak sempat terlihat oleh Sundari, tubuh Tedjo menggelepar, berjuang
melawan maut. Said menahan seorang lelaki berpakaian hitam yang hendak
menambahkan sebuah tusukan.
“Cukup
... cukup!” tahan Said.
“Sa
... ngid, ... kau ... kah ... itu?”
tanya Tedjo dengan bibir bergetar dan napas tersengal-sengal. Tangannya
menggapai-gapai ke arah Said.
Diterpa
remangnya cahaya damar, Said, lelaki yang dulu pernah mencintai perempuan yang sama
dengan Tedjo, melepaskan cadar. Dia merundukkan badan, lalu menahan tubuh suami
Sundari dengan kedua pahanya.
“Ja
... ngan ... bu ... nuh ... Sun ... da ... ri,” Tedjo mengucapkan permintaan terakhir
dengan terbata-bata. Dia melihat
darahnya sendiri membasahi tangan dan paha Said. Perlahan, tatapan matanya
tertutup oleh warna bianglala yang turun dari atap rumah. Pancaran warna itu
menghampiri tubuhnya. Sakit yang dirasakannya mendadak hilang. Berganti rasa
hangat dan nyaman. Dalam sekedipan, Tedjo bisa melihat Said, puluhan orang
berpakaian hitam, juga Sundari dari atas mega-mega. Said pun tak kuasa menahan
tetesan air mata.
“Geledah
rumah ini. Cari istrinya!” seru seorang kawan Said.
“Sudah-sudah.
Hentikan! Istrinya bukan seorang Gerwani!”23)
Said kembali menahan kawan-kawannya.
***
Di
tengah sawah, Sundari terus berlari. Lutut, kaki dan tangannya kini telah
berdarah-darah, tersangkut pernak duri. Tubuhnya semakin gemetar ketakutan.
Dalam rasa panik, takut dan kalut yang bercampur aduk menjadi satu, dia
berhenti di sebuah tepi kali.
Sundari
meringkuk di rerimbunan pohon glagah24)
yang sedang bermusim di kali Widas. Badannya berselimut lumpur. Lama dia
menggigil. Napasnya masih naik turun tak beraturan, ketakutan tetap tak
beranjak dari dirinya. Akhirnya, berjam-jam dia tertidur, atau mungkin pingsan.
Hingga suara kokok ayam membangunkannya.
Sesosok
tubuh melayang jatuh ke kali, dekat dengan posisi Sundari meringkuk. Di atas
jembatan, terlihat puluhan orang pelaku pelemparan mengenakan pakaian serba
hitam. Salah satu dari mereka menjilati golok yang berkilau kemerah-merahan.
Iya,
lelaki itu membersihkan darah yang menempel di golok dengan lidahnya. Seketika,
Sundari merasa ingin muntah. Perutnya seperti diaduk-aduk, mual semual-mualnya.
Kepalanya terasa berputar-putar. Pandangan matanya meredup.
Sundari
kembali pingsan di sela-sela pohon glagah. Ketika dia membuka mata, puluhan
mayat telah mengapung di kali Widas. Sayup-sayup, dia kembali mendengar suara kokok
ayam. Disusul derap langkah puluhan orang yang memanggul senapan.
Patroli
KKO menemukan Sundari yang compang camping dan tergolek lemah di pinggir kali
Widas. Lalu, mereka membawanya ke kota kecamatan.
Di
atas kubah langgar Rowolingi, sebuah lintang kemukus tak juga pudar. Cahayanya
mengekor hingga sepanjang sepuluh depa lelaki dewasa. Pagebluk dan peristiwa
kelam benar-benar telah datang. (*)
Heru
Sang Amurwabumi, pendiri Komunitas Pegiat Literasi
Nganjuk, TBM Sanggar Omah Sastra, rumah budaya Sanggar Punakawan. Tahun 2019
terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di festival sastra internasional, Ubud Writers anda Readers Festval.
***
Catatan:
Setelah Partai
Komunis Indonesia terkuak kedoknya melakukan makar, ratusan ribu anggota dan
simpatisannya dibantai karena kemarahan rakyat, sebagai pembalasan atas
kekejian partai berlambang palu arit itu selama puluhan tahun. Peristiwa ini
menjadi sejarah paling kelam bagi perjalanan bangsa Indonesia.
1 Musholla.
2 Perangkat Desa yang mengurus bidang keagamaan.
3 Berilah hambamu kesabaran.
4 Kependekan dari Bawuk (organ intim perempuan), panggilan kepada wanita yang disayangi. Bisa anak atau istri.
5 Jumat Kliwon.
6 Bahasa Jawa, tidur.
7 Perhitungan Wuku yang ke-9. Wuku sendiri adalah perhitungan hari Jawa, dimana satu hari Wuku sama dengan tujuh hari Masehi atau satu minggu. Ada tiga puluh hari Wuku, sehingga memerlukan 210 hari untuk menyelesaikan siklus 30 hari Wuku.
8 Komet, bintang berekor. Dalam mitologi Jawa dianggap sebagai tanda datangnya peristiwa kelam.
9 Perapian yang berasal dari kotoran hewan. Dinyalakan untuk mengusir serangga pengganggu binatang ternak.
10 Berilah keselamatan.
11 Wabah penyakit.
12 Ikat kepala masyarakat tradisional Jawa.
13 Bahasa Jawa, Sudah-sudah, tidak ada apa-apa.
14 Bahasa Jawa, Saudara-saudara.
15 Bahasa Jawa, belajar.
16 Selasa Legi.
17 Bulan ke-11 dalam kalender Jawa, sekitar 12 Mei – 11 Juni dalam kalender Masehi.
18 Organinasi pemuda sayap kiri sebagai bagian ormas dari Partai Komunis Indonesia
19 Organisasi sayap kiri sebagai ormas Partai Komunis Indonesia, basis anggotanya adalah para petani.
20 Pasukan khusus TNI AL di masa revolusi, sekarang Marinir. Satu-satunya kesatuan yang netral di masa itu.
21 Lampu kuno yang berbahan bakar minyak tanah. Dahulu, awalnya berbahan bakar minyak jarak.
22 Gerbang akherat.
23 Gerakan Wanita Indonesia, organisasi perempuan sayap kiri, bagian dari ormas Partai Komunis Indonesia.
24 Saccharum spontanium
Posting Komentar untuk "LINTANG KEMUKUS DI ATAS KUBAH LANGGAR"
Posting Komentar