Wayang Timplong: Bayangan yang Kian Pudar di Hari Wayang Nasional
![]() |
| Source Indonesia Kaya |
Oleh: Heru Sang
Amurwabumi
Setiap tanggal 7 November, sorotan
kebudayaan nasional tertuju pada kesenian Wayang. Tanggal tersebut telah
ditetapkan sebagai Hari Wayang Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 30
Tahun 2018 yang ditandatangi Presiden ke-7 Republik Indonesia, Jiko Widodo. Keppres
yang menjadi momentum untuk menegaskan kembali bahwa wayang adalah tontonan
tradisional yang sekaligus menjadi cermin
kebijaksanaan dan jati diri bangsa. Di tengah derasnya arus
globalisasi dan budaya instan, wayang hadir sebagai pengingat bahwa nilai-nilai
luhur seperti kejujuran, kesetiaan, dan keberanian telah lama diajarkan lewat
kisah para tokohnya.
Peringatan Hari Wayang Nasional menjadi
saat yang tepat untuk merenungkan, sejauh mana kita, generasi masa kini, masih
memberi ruang bagi wayang untuk hidup, baik di panggung pementasan, maupun di
hati kita sebagai anak bangsa. Namun, ada yang terlewatkan dari perayaan tersebut setiap tahunnya. Hari Wayang
Nasional seharusnya bisa menjadi cermin kolektif, bukan hanya merayakan
keagungan Wayang Purwa. Masih ada yang luput dari ingatan kita, bahwa saat ini
ada sinyal yang menjadi penanda kondisi darurat bagi wayang-wayang lokal yang
berjuang dalam kesendirian. Di tengah gemerlapnya pengakuan dunia, di jantung
Kota Angin, Nganjuk, ada sebuah bayangan yang kian memudar, yaitu Wayang
Timplong.
Wayang Timplong, wayang kayu khas
Nganjuk, adalah salah satu mahakarya genius lokal yang lahir pada periode yang
penuh gejolak. Diperkirakan muncul sekitar tahun 1910-an, kesenian ini
diciptakan oleh Mbah Bancol dari Desa Jetis, Kecamatan Pace, Nganjuk (Wibowo,
Anjar Mukti dan Prisca Putra Ardany, 2019). Terinspirasi dari Wayang Klithik
yang populer saat itu, Mbah Bancol berinisiatif membuat wayang yang berbeda.
Lahirlah Timplong, wayang yang dipahat dari kayu ringan seperti mentaos dan
waru, bentuknya pipih, dengan tangan yang terbuat dari kulit, memadukan elemen
wayang Klithik dan Wayang Golek.
Keunikan Wayang Timplong tidak hanya
pada fisiknya. Cerita yang dibawakan pun berbeda, menjauh dari epik Mahabarata
dan Ramayana. Timplong menjadi penyambung lidah sejarah lokal, mengangkat
cerita-cerita Panji, legenda rakyat, kisah-kisah babad tanah Jawa, hingga lakon
perjuangan melawan penjajah Belanda. Kesenian ini pernah menjadi hiburan
tunggal yang sangat dinikmati masyarakat Nganjuk di masa-masa sulit pendudukan
(Kompasiana, 2019).
Namanya pun unik. “Timplong"
diyakini berasal dari onomatope bunyi sederhana gamelan pengiringnya yang
minim, yang terdengar pating ketimplong (bunyi nyaring yang
tenggelam-timbul), menunjukkan kesederhanaan dan kedekatan Wayang Timplong
dengan kehidupan pedesaan. Gamelan yang digunakan pun terbatas, hanya kendang,
kenong, gambang, dan gong kecil (suwukan).
Menegaskan filosofi kesederhanaan yang mendalam.
Krisis
di Ambang Kepunahan
Hari ini, Wayang Timplong bukan lagi
hiburan massa, melainkan sebuah artefak hidup yang butuh belas kasihan untuk diselamatkan
oleh tradisi. Ia hanya dipentaskan secara sporadis, terikat kuat pada ritual
adat seperti Nyadran (bersih desa), ruwatan, atau tolak bala.
Di luar ritual tersebut, ia terbenam dalam keheningan.
Puncak krisis Wayang Timplong terpusat
pada dua masalah fundamental, yaitu regenerasi dan ekonomi budaya.
Pertama, jumlah dalang aktif dapat
dihitung jari. Beberapa laporan menyebutkan dalang yang tersisa kini
berusia lanjut (Tim Unair, 2017). Pewarisan seni ini, yang secara tradisional
berjalan turun-temurun, kini terputus di tengah jalan. Generasi muda Nganjuk,
dihadapkan pada derasnya arus globalisasi dan hiburan digital, melihat mendalang
Wayang Timplong sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan secara ekonomi dan
sosial. Belajar mendalang, memahat wayang, dan menguasai gending (musik
iringan) Timplong yang khas membutuhkan dedikasi bertahun-tahun tanpa jaminan
panggung yang layak.
Kedua, ketiadaan panggung reguler
yang disokong secara serius oleh pemerintah daerah. Meskipun pernah ada program
yang memasukkan wayang, termasuk Timplong, ke sekolah-sekolah, pementasan yang
teratur dan berkelanjutan masih menjadi isu. Pagelaran yang hanya mengandalkan
acara nyadran tidak cukup untuk menjaga denyut nadi kesenian ini.
Eksklusivitas panggung ritual membuat Timplong semakin jauh dari pasar hiburan
modern. Seniman Wayang Timplong tidak dapat menjadikan seni ini sebagai sumber
penghidupan utama, memaksa mereka mencari pekerjaan lain, yang pada akhirnya
mempercepat proses "pensiun" dari dunia pedalangan.
Aksi
Nyata dan Strategi Kebudayaan Holistik
Merayakan Hari Wayang Nasional pada 7
November 2025 harus ditandai dengan janji nyata untuk menyelamatkan bayangan-bayangan
lokal seperti Timplong. Sebagai pengagas dan penggerak Komunitas Pegiat
Literasi Nganjuk (komunitas yang selama tujuh tahun eksis berkampanye literasi
kebudayaan), penulis percaya, Wayang
Timplong adalah bagian tak terpisahkan dari literasi kebudayaan Nganjuk, sebuah
"buku" sejarah yang telah ditulis dengan kayu dan tinta iringan gamelan
sederhana.
Menyikapi
fenomena kian pudarnya baying-bayang Wayang Timplong, kami menwarkan lima langkah
strategis, yaitu:
1. Program
Inkubasi Dalang Muda Berinsentif
Pemerintah Kabupaten Nganjuk harus
segera meluncurkan program beasiswa penuh untuk pemuda Nganjuk yang bersedia
belajar dan menjadi dalang Wayang Timplong, dengan pendampingan langsung dari
dalang sepuh. Program ini harus mencakup insentif finansial bulanan untuk
menjamin keberlanjutan hidup peserta selama masa pelatihan, menjadikan profesi
dalang Timplong menarik kembali di mata generasi muda.
2. Panggung
Abadi dan Festival Wayang Lokal
Dinas Kebudayaan wajib mengalokasikan
anggaran untuk panggung Wayang Timplong bulanan atau dwimingguan yang
diselenggarakan secara terpusat dan dipromosikan sebagai atraksi wisata khas
Nganjuk. Panggung reguler menciptakan permintaan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan
insentif ekonomi bagi para seniman. Selain itu, Wayang Timplong harus menjadi headliner
dalam Festival Kebudayaan Nganjuk, bukan hanya pelengkap.
3. Integrasi
Wayang Timplong dalam Kurikulum
Tidak cukup hanya mengenal, generasi
muda harus memiliki. Wayang Timplong wajib diintegrasikan ke dalam
kurikulum muatan lokal sekolah (SD hingga SMA) di Nganjuk, tidak hanya sebagai
materi sejarah, tetapi juga melalui lokakarya praktik memahat, menabuh gamelan,
dan mendalang.
4. Digitalisasi
dan Reinterpretasi Konten
Agar Wayang Timplong bersuara lantang
di era digital, perlu ada upaya digitalisasi. Ini mencakup pembuatan dokumenter
berkualitas tinggi, channel YouTube resmi berisi pementasan yang
diarsipkan, hingga kolaborasi dengan kreator konten lokal untuk reinterpretasi
kisah Timplong menjadi format komik atau animasi pendek. Memanfaatkan teknologi
akan menjangkau audiens Gen Z yang menjadi kunci kelestarian.
5. Pemberdayaan
Kerajinan Wayang
Kerajinan Wayang Timplong harus dikembangkan
sebagai produk ekonomi kreatif. Pemerintah dapat memfasilitasi pelatihan
pembuatan suvenir dan miniatur Wayang Timplong yang bersertifikat. Ini akan
menciptakan lapangan kerja dan menaikkan nilai Wayang Timplong dari sekadar
kesenian menjadi ikon identitas Nganjuk yang dapat dibawa pulang oleh
wisatawan.
Jangan
Biarkan Wayang Timplong Menjadi Mitos
Wayang Timplong adalah penanda historis
bahwa Nganjuk memiliki kekayaan narasi dan kearifan yang unik, berbeda dari
tradisi Mataram. Ia adalah suara lokal yang berbicara melalui pahatan
kayu mentaos.
Membiarkan Wayang Timplong punah sama
artinya dengan merobek halaman penting dari buku sejarah Nganjuk. Pada Hari
Wayang Nasional 2025, kita harus merubah retorika menjadi aksi. Kita harus
memastikan, bunyi ketimplong yang khas itu tidak berhenti, tetapi
kembali nyaring dan bergema di telinga generasi mendatang. Wayang Timplong
harus diselamatkan, agar bayangannya tetap menari di kelir kebudayaan,
selamanya menjadi jati diri Kota Angin.
Selamat memperingati
Hari Wayang Nasional.
(Penulis adalah pendiri
Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk, memiliki trah dalang-dalang kuno Nganjuk, aktif
menjadi penulis di berbagai media massa, menjadi narasumber di seminar literasi
dan kebudayaan. Tahun 2019 menjadi speaker di festival sastra internasional
Ubud Writers and Readers Festival).
Daftar Rujukan
Cahyani, F. R. (2024). Degenerasi Pemuda Dalam Melestarikan Wayang
Timplong Sebagai Warisan Turun Temurun Di Desa Sumengko, Sukomoro, Nganjuk.
i-WIN Library.
Tim Unair. (2017). Peran Pemerintah Terhadap Eksistensi Wayang Timplong sebagai Kebudayaan Lokal Khas Nganjuk. Jurnal Administrasi Publik (JAP), 3(1), 22-35. Diakses pada 7 November 2025 dari https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmpe3c6443445full.pdf.
Kompasiana. (2019, 24 November). Sejarah dan Eksistensi Wayang Timplong di Era Globalisasi. Diakses pada 7 November 2025 dari https://www.kompasiana.com/izzatiddiena/5dda2183097f3645604ff222/sejarah-dan-eksistensi-wayang-timplong-di-era-globalisasi.
Muzaqi. A.B. (2019). Studi Tentang Wayang Timplong di Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk. JIPED: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(1), 1-13.
Tim Unair. (2017, 15 Juni). Mahasiswa UNAIR Teliti Wayang 'Timplong' Nganjuk yang Hampir Punah. UNAIR NEWS. Diakses pada 7 November 2025 dari https://unair.ac.id/mahasiswa-unair-teliti-wayang-timplong-nganjuk-yang-hampir-punah/.

Posting Komentar untuk "Wayang Timplong: Bayangan yang Kian Pudar di Hari Wayang Nasional"
Posting Komentar