Hikayat Mbah Mendung di Desa Wates Tanjunganom

foto: krjogja

 

Kopling - Memasuki bulan Suro dalam kalender Jawa, beberapa desa di wilayah Pulau Jawa rata-rata menyelenggarakan tradisi bersih desa. Bersih desa merupakan slametan atau upacara adat Jawa untuk memberikan sesaji kepada danyang desa. Sesaji berasal dari warga untuk menyumbangkan makanan. Bersih desa dilakukan oleh masyarakat dusun untuk membersihkan desa dari roh-roh jahat yang mengganggu. Maka sesaji diberikan kepada danyang, karena danyang dipercaya sebagai penjaga sebuah desa.

 

Begitu pula  warga Desa Wates Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk yang setiap tahunnya tidak pernah absen melakukan tradisi ini. Ritual dilaksanakan di punden desa, dimulai dari mengadakan kenduri, mengirim sesaji yang diperuntukkan untuk danyang Desa Wates yang dikenal dengan nama Mbah Mendung dan menggelar gembyangan.

 

Gembyangan dipilih oleh warga Desa Wates karena konon ceritanya Mbah Punden ( Mbah Mendung) menggemari gembyangan tersebut. Gembyangan adalah seni tari yang mirip dengaan tayuban. Tayub penarinya berjumlah banyak diiringi seperangkat gamelan Jawa yang lengkap. Sedangkan gembyangan penarinya tidak lebih dari 2 dan diiringi gamelan yang sederhana.

 

Dikisahkan secara turun temurun dari sesepuh Desa Wates sebelum meninggal tahun 2016, almarhumah Ibu Djamilah sekaligus pelaku sejarah asal mula tradisi gembyangan menjelaskan bahwa pada zaman dahulu Desa Wates pernah dilanda kekeringan yang sangat panjang. Lahan petani banyak yang kering dan tanamannya mati kekurangan air. Beliau diminta oleh Bapak Suradi yang pada saat itu sebagai Lurah Desa Wates untuk menari di pelataran punden Desa Wates. Hal ini dilaksanakan berdasarkan mimpi yang dialami Mbah Lurah Suradi agar desanya terbebas dari bencana kekeringan. Ibu Djamilah pun menuruti perintah dari Mbah Lurah tersebut. Padahal menurut ceritanya Beliau belum pernah menari di depan umum sebelumnya.

 

Pada saat itu beliau menari diiringi oleh gamelan sederhana yaitu gembyang dan kempyung yang kebetulan penabuhnya adalah bapaknya sendiri (Mbah Mangun). Acara itu berlangsung beberapa hari tanpa henti. Saat menari beliau diguyur dawet—minuman khas dari jawa teruat dari tepung beras dengan sirup gula jawa. Kala itu penontonnya pun banyak sekali dan tiba –tiba ditengah terik panas siang hari mendung hitam berdatangan dan berkumpul diatas pelataran punden. 

 

Penonton pun berteriak-teriak, “Mendung … mendung.” Semakin lama teriakan mereka diikuti seluruh warga desa dan mendung pun semakin hitam dan menebal. Tidak lama kemudian hujan turun dengan lebat. Hujan turun sehari semalam tiada henti. Desa Wates pun terlepas dari bencana kekeringan. Petani merasa senang dan kembali menggarap sawah ladangnya dengan suka cita. Sampai saat ini gembyangan tetap digemari para ibu ibu yang dengan sukarela dan sukaria menari di tengah pesta kecil tersebut.

 

Dari peristiwa di atas punden Desa Wates mendapat julukan Mbah Mendung dan dipercaya sebagai leluhur yang membuka Desa Wates. Namun demikian sampai saat ini belum ada tulisan mengenai asal usul Desa Wates yang akurat. Terlepas dari cerita di atas, masyarakat Desa Wates tetaplah masyarakat yang religius. Tradisi bersih desa dengan pagelaran gembyangan adalah salah satu budaya asli Desa Wates yang perlu dilestarikan turun menurun. Tradisi ini sebagai upacara adat memiliki makna spiritual di baliknya. Bersih Desa bertujuan untuk mengungkapkan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang didapat. Selanjutnya, upacara bersih desa bertujuan untuk memohon perlindungan kepada danyang sebagai penjaga desa dari hal-hal negatif dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kesenian pertunjukan gembyangan juga mengandung nilai-nilai yang relevan dengan budaya lokal yaitu: kebersamaan, persatuan dan egalitarian (kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya). Dengan nguri-uri pergelaran gembyangan pada acara bersih desa akan membantu perekonomian pelaku kesenian di negara kita tercinta serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. (*Yulianik/2021)

 

3 komentar untuk "Hikayat Mbah Mendung di Desa Wates Tanjunganom"

Comment Author Avatar
Satu lagi tradisi dari Nganjuk ang memperkaya budaya bangsa. Artikelnya menarik ^^
Comment Author Avatar
Terima Kasih ... semoga ada tulisan tulisan lain yang menginspirasi
Comment Author Avatar
Bagus artikelnya, mengangkat kearifan lokal Nganjuk punya. 👍👍