Lintang Kemukus di Atas Kubah Langgar



Orang-orang Desa Rowolingi selalu mengingat sebuah kisah dengan pilu setiap menjelang berakhirnya bulan September. Bukan hikayat tentang tanah leluhur mereka yang konon ๐˜ต๐˜ข๐˜ต๐˜ข ๐˜ตรช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ณรช๐˜ฎ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ณ๐˜ต๐˜ข ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ซ๐˜ข. Bukan pula cerita tentang konflik politik di ibu kota yang berimbas pada jatuhnya korban ratusan ribu nyawa kasta ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ณ๐˜ข—terjadi pembantaian terhadap orang-orang yang dicap sebagai komunis, yang mati secara mengerikan—tetapi kisah kemunculan sebuah bintang dini hari. Bintang yang dianggap sebagai penebar segala malapetaka kala itu.

Kekelaman memang tak pernah bisa dilupakan. Adalah Sundari, perempuan Rowolingi yang pernah diasingkan ke Plantungan—penjara tapol wanita yang terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia, bekas lepratorium zaman Hindia Belanda—dengan tuduhan kejahatan yang tak pernah dilakukannya, senantiasa meneteskan air mata manakala mengingat dua hal penyebab dadanya terluka: September dan azan subuh.

Begitu juga dini hari itu. Untuk kesekian kali, tubuh Sundari menggigil di pojok bilik. Bukan kedinginan, tetapi karena dia tak dapat menangkis kecamuk badai rasa takut yang kembali membekapnya. Ketakutan yang selalu hadir saat kokok ayam pertama terdengar, bersamaan ketika dari langgar di ujung desa, suara panggilan sembahyang penganut ajaran Kangjรชng Rasul dilantun-langitkan.

Bukan. Sebenarnya Sundari bukan takut dengan suara ๐˜”๐˜ฐ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ Sangid—panggilan orang-orang Rowolingi kepada Said Hasan, seorang pamong desa tua yang juga takmir langgar. Tetapi, luka di dadanya terasa kembali dibuka setiap mendengar kemerduan suara pemuka ajaran Kangjรชng Rasul di desanya itu. Suara yang dilantunkan dari kubah langgar.

Dini hari itu, untuk sekian kali, Sundari menutup dua lubang telinga. Butir-butir keringat keluar dari dahi dan pelipis. Napasnya naik turun tak beraturan. Pelupuk matanya kembali menggenang.

“Gusti, ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ฃ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ,” ratap Sundari dengan bibir bergetar.

Samar-samar, di benak Sundari melintas bayangan masa lalu. Bayangan tentang seorang lelaki bertelanjang dada yang hanya mengenakan celana kolor kumal berwarna coklat. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca. Masih sama persis dengan penampilannya ketika suatu tengah malam, Sundari dengan deraian air mata meninggalkannya.

“Larilah, ๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ. Cepat lari!” perintah Tedjo kala itu, lelaki yang baru empat bulan menjadi suami Sundari.

***

๐—ž๐—ฎ๐—ธ๐—ถ ๐—š๐˜‚๐—ป๐˜‚๐—ป๐—ด ๐—ฃ๐—ฎ๐—ป๐—ฑ๐—ฎ๐—ป, ๐—ฆ๐—ฒ๐—ฝ๐˜๐—ฒ๐—บ๐—ฏ๐—ฒ๐—ฟ ๐Ÿญ๐Ÿต๐Ÿฒ๐Ÿฑ.

Malam itu adalah malam ๐˜š๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ณ๐˜ข ๐˜’๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฉ. Langit di Desa Rowolingi gelap. Sejauh mata menatap ke atas, hanya kekelaman yang tampak begitu merata. Pada setiap sudut bentang angkasa, tiada selain kegelapan saja yang dijumpai. Tak ada pemandangan apa pun di atas langit sana. Bulan benar-benar telah menyembunyikan diri. Bahkan, gemintang juga tiada menampakkan pendar cahayanya, walau hanya sekerlip.

Malam itu adalah titik ๐˜ต๐˜ช๐˜ญ๐˜ฆ๐˜ฎ. Malam di mana bulan tengah menuju titik akhir masa peredarannya di bentang cakrawala. Malam terakhir dari ๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ ๐˜‘๐˜ถ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ธ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช. Tak ada satu orang pun yang keluar rumah pada malam itu. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan malam di dalam rumah masing-masing. Menunggu hingga pagi tiba, saat matahari muncul di ufuk timur esok hari.

Kegelapan yang membekap desa, mendadak pecah oleh sebuah cahaya benderang di langit sisi utara. Letaknya berada tepat di atas kubah langgar. Ekor sinarnya memanjang sekitar sepuluh depa orang dewasa. Ia muncul menjelang suara panggilan sembahyang para penganut ajaran Kangjรชng Rasul dilantun-langitkan. Ketika itu, kokok ayam belum terdengar satu pun.

“๐˜“๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด ... ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด ... ada ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด!” Kang Dirgo berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Lelaki paruh baya yang awalnya bermaksud merapikan ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ di kandang sapi, kaget oleh kemunculan benda langit yang bersinar terang.

Sontak, keheningan dini hari itu berubah menjadi kegaduhan. Orang-orang berhamburan keluar dari rumah. Dalam sekejap, jalan desa telah penuh oleh penduduk yang menyaksikan kemunculan ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด. Sebagian dari mereka takjub oleh keindahannya. Sebagian lagi, terutama orang-orang tua mengelus dada dan saling berbisik.

“๐˜—๐˜ข๐˜ณ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ, Gusti.” Begitu bunyi doa yang keluar dari mulut mereka.

Bagi orang-orang Rowolingi, kemunculan ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด dipercaya sebagai tanda akan datangnya sebuah pagรชbluk. Bisa juga akan terjadi peristiwa kelam, musibah dan mara bahaya.

Kegaduhan orang-orang Rowolingi akhirnya mereda, setelah seorang lelaki muda, berusia sekitar dua puluh lima tahun, datang dari arah langgar, lalu menghampiri kerumunan. Dia mengenakan kopyah hitam. Berbeda dengan kebanyakan lelaki seusianya yang memakai ๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ sebagai ikat kepala. Belitan kain sarung juga menutupi kakinya hingga di bawah lutut.

“๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ-๐˜ด๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ, ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฐ๐˜ตรช๐˜ฏ ๐˜ธ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜ตรช๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข-๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข. Ini fenomena alam biasa, ๐˜šรช๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ-๐˜ดรช๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฌ. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak perlu panik begini. Ayo kembali pulang ke rumah masing-masing. Sebentar lagi waktunya subuh,” ucap lelaki berkain sarung, mencoba menenangkan orang-orang desa.

“Sangid?” bisik orang-orang.

Dia adalah Said Hasan. Sudah sekitar lima tahun meninggalkan Desa Rowolingi untuk ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด๐˜ถ ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ธ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฉ ajaran Kangjรชng Rasul. Anak sulung ๐˜”๐˜ฐ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ Ngabdul Muntoha itu kabarnya mondok ke daerah Jombang. Baru seminggu ini, Sangid—begitu lidah kolot para tetangga memanggilnya. Orang Jawa memang biasa mengucapkan ‘๐˜ˆ๐˜ช๐˜ฏ dengan lafaz ๐˜•๐˜จ๐˜ข๐˜ช๐˜ฏ—pulang kembali ke tanah kelahirannya.

“Kang Sangid, kaukah itu?” sapa Sundari.

“Iya,” jawab Said, tak acuh.

“Bagaimana kabarmu, Kang?”

“Alhamdulillah, baik.” 

“Waktunya subuh, aku ke langgar dulu.” 

Said meninggalkan Sundari yang memerah pipinya. Perempuan desa yang lima tahun lalu menangis sesenggukan, ketika anak sulung ๐˜”๐˜ฐ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ Ngabdul Muntaha berpamitan akan pergi mondok ke Jombang itu, hanya berdiri mematung. Mata Sundari tak berkedip menatap kepergian laki-laki yang dulu pernah singgah di hatinya, hingga tubuh Said hilang ditelan kelokan halaman langgar.

“Kang Said sudah berubah. Dia menjadi tak acuh sekarang. Sepertinya mulai lupa denganku.” Suara hati Sundari menggerutu. 

“Bukan. Bukan Said yang berubah. Tapi kamulah yang berubah, Sundari. Sekarang kamu telah menikah dengan laki-laki lain. Tedjo.” Tiba-tiba suara hatinya yang lain memprotes.

Iya, kepergian Said yang tiada kunjung kembali, sempat membuat Sundari linglung. Empat tahun lebih dia menunggu kabar. Umurnya yang telah menginjak dua puluh tahun, membuat simbok dan bapaknya malu karena Sundari belum juga mendapatkan pinangan dari seorang laki-laki pun.

Sebenarnya, bukan tidak ada laki-laki yang menginginkan Sundari. Dirgo, Sunu dan Tedjo adalah jejaka desa yang berebut mendapatkan cintanya. Namun, Sundari belum membalas hasrat mereka hanya karena seorang Said. Dalam hati, dia masih menaruh harapan besar pada Said untuk segera pulang ke desa, lalu melamarnya.

Desakan terus menerus dari simbok dan bapaknya agar menerima Tedjo, akhirnya berakhir dengan sebuah pernikahan di hari ๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข ๐˜”๐˜ข๐˜ฏ๐˜ช๐˜ด bulan ๐˜‘๐˜บ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ต๐˜ข. Sundari menjadi istri seorang jejaka desa yang menurut bapaknya calon orang penting karena sering mengikuti pertemuan-pertemuan di kecamatan. Pemuda Rakyat, begitu pengakuan Tedjo kepada keluarga Sundari, ketika ditanya tentang kasak-kusuk kesibukannya.

Namun, pernikahan dengan Tedjo justru menjadi awal dari kekelaman nasib Sundari.

***

Dua minggu semenjak kemunculan ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด di atas kubah langgar Rowolingi, peristiwa yang ditakutkan orang-orang menjadi kenyataan. Puluhan orang berpakaian serba hitam, bersenjatakan pedang, golok dan celurit mendatangi Darmo Grawak, seorang yang sehari-hari senang memasang bentangan kain bertuliskan Barisan Tani Indonesia di halaman rumahnya.

Di hadapan istri dan ketiga anaknya, Darmo Grawak dihabisi. Mayatnya diseret oleh orang-orang berpakaian serba hitam, lalu dibuang di sungai pinggir desa. 

Keesokan harinya, Rowolingi gempar. 

"Sangid pelakunya!"

Begitu desas-desus yang berkembang di desa. Malam hari saat kejadian, banyak yang melihat teman-teman Said berdatangan ke rumahnya. Entah, mereka berasal dari mana. Yang jelas, semuanya mengenakan baju dan celana berwarna hitam. 

Penemuan mayat Darmo Grawak menyisakan ketakutan di Rowolingi. Malam kedua setelah peristiwa mencekam itu, Pardi dan Lamijan, dua orang yang sehari-hari biasa bertamu di rumah Darmo Grawak, juga dihabisi. Menurut istri mereka, dua orang itu didatangi puluhan orang berpakaian hitam, lalu tanpa ampun dibacok. Mayat keduanya juga dibuang di sungai pinggir desa. Pagi harinya, tujuh mayat ditemukan mengapung di sana. Lima di antaranya, bukan orang Rowolingi.

Malam ketiga, Sundari menangis sesenggukan di hadapan suaminya. Tedjo mengaku bahwa dia juga menjadi incaran orang-orang berpakaian hitam. Bukan mustahil, malam itu giliran dirinya yang akan dibunuh.

“Tidak mungkin Kang Sangid setega ini menyakitimu. Semua ini aku yang salah. Kang Tedjo tidak tahu menahu tentang hubunganku dengannya,” sesal Sundari dengan air mata berderaian.

“Ini bukan masalah hubungan masa lalumu dengan Sangid, ๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ. Ini soal pergaulan suamimu yang salah memilih kawan,” jelas Tedjo, sambil mendekap tubuh istrinya.

Tedjo melepaskan pelukan dari tubuh Sundari, ketika sayup-sayup dia mendengar langkah puluhan orang memasuki halaman. Semakin lama, kaki-kaki itu terdengar kian mendekati pintu rumahnya.

“๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ, saatnya kamu pergi. Lari sejauh-jauhnya dari Rowolingi. Mintalah perlindungan kepada KKO di kecamatan. Cepat, ๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ!” ucap Tedjo dengan nada meminta.

“Tidak, Kang. Aku tidak akan pergi!” tolak Sundari.

“Kang Tedjo mohon, ๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ. Selamatkan dirimu. Cepat!”

Sundari menatap dalam-dalam wajah Tedjo. Dalam sorotan temaram nyala ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ, tampak mata suaminya berkaca-kaca. Kembali mereka berpelukan. Sesaat suasana menjadi hening. Malam seolah memberi kesempatan kepada keduanya untuk mencicipi aroma perpisahan. Aroma kematian Tedjo.

“Kutunggu kamu di ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌรช๐˜ฑ, ๐˜ž๐˜ถ๐˜ฌ,” bisik Tedjo.

Terdengar pintu rumah digedor berkali-kali. Tedjo menempelkan jari telunjuk ke bibir Sundari. Memberi isyarat bahwa jangan sampai mengeluarkan suara. Pelan-pelan, dia mendorong tubuh istrinya menjauh, lalu menunjuk ke arah pintu belakang rumah.

“Keluar kamu, Tedjo. Cepat keluar!” teriak seseorang dari depan pintu.

Mendengar suara lantang itu, seketika Sundari mengendap-endap meninggalkan Tedjo. Sampai di pintu belakang, dia menoleh. Suaminya memandang dengan mata membanjir.

“Selamat jalan, Kang Tedjo,” tangis Sundari dalam hati.

Perempuan yang belum genap lima bulan menjadi istri Tedjo itu terus berlari ke pekarangan belakang rumah. Sampai di rerimbunan bambu, dia berhenti sesaat, lalu kembali menoleh ke belakang. Terdengar suara keributan. Hanya sebentar, setelah itu berakhir dengan jeritan panjang menyayat hati. 

Di dalam rumah, tak sempat terlihat oleh Sundari, tubuh Tedjo menggelepar—berjuang melawan maut. Said menahan seorang lelaki berpakaian hitam yang hendak menambahkan sebuah tusukan.

“Cukup ... cukup!” tahan Said.

“Sa ... ngid, kau ... kah ... itu?”  tanya Tedjo dengan bibir bergetar dan napas tersengal-sengal. Tangannya menggapai-gapai ke arah Said. 

Diterpa remang cahaya ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ณ, Said, lelaki yang dulu pernah mencintai perempuan yang sama dengan Tedjo, melepaskan cadar. Dia merundukkan badan, lalu menahan tubuh suami Sundari dengan kedua pahanya.

“Mari, kutuntun menghadap ๐˜๐˜ญ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ๐˜ช, Kang,” bisik Said ke telinga Tedjo. Suami Sundari itu tersenyum sambil mengangguk.

“Ja ... ngan ... bu ... nuh ... Sun ... da ... ri.” Tedjo mengucapkan kalimat permintaan terakhir dengan terbata-bata. Dia melihat darahnya sendiri membasahi tangan dan paha Said. Perlahan, tatapan matanya tertutup oleh warna bianglala yang turun dari atap rumah. Pancaran warna itu menghampiri tubuhnya. Sakit yang dirasakannya mendadak hilang. Berganti rasa hangat dan nyaman. Dalam sekedipan, Tedjo bisa melihat Said, puluhan orang berpakaian hitam, juga Sundari dari atas mega-mega. Said pun tak kuasa menahan tetesan air mata.

“Geledah rumah ini. Cari istrinya!” seru seorang kawan Said.

“Sudah-sudah. Hentikan! Istrinya bukan seorang Gerwani!” Said kembali menahan kawan-kawannya.

***

Di tengah sawah, Sundari terus berlari. Lutut, kaki dan tangannya kini telah berdarah-darah, tersangkut pernak duri. Tubuhnya masih gemetar begitu hebat. Dalam kecamuk badai panik, takut dan kalut yang bercampur aduk menjadi satu, dia berhenti di sebuah tepi sungai. 
 
Sundari meringkuk di rerimbunan pohon ๐˜จ๐˜ญ๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ฉ yang sedang bermusim di Kali Widas. Badannya berselimut lumpur. Lama dia menggigil. Napasnya masih naik turun tak beraturan. Bekapan ketakutan tetap tak beranjak dari pikirannya. Setelah berjam-jam di sana, barulah dia tertidur—atau mungkin pingsan. Hingga suara kokok ayam di ambang fajar membangunkannya.

Sesosok tubuh melayang jatuh ke sungai, dekat sekali dengan posisi Sundari terkulai. Di atas jembatan, terlihat puluhan orang pelaku pelemparan mengenakan pakaian serba hitam. Salah satu dari mereka tampak menjilat golok yang berkilau kemerah-merahan.

“Darah?!”

Iya, lelaki itu membersihkan darah yang menempel di golok dengan lidahnya. Sundari bergidik. Sontak perutnya seperti diaduk-aduk, mual semual-mualnya. Kepalanya terasa berputar-putar. Pandangan matanya meredup. Sundari kembali pingsan di sela-sela pohon ๐˜จ๐˜ญ๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ฉ. 

Ketika dia membuka mata, puluhan mayat telah mengapung di Kali Widas. Sayup-sayup, dia kembali mendengar suara kokok ayam. Disusul derap langkah puluhan orang yang memanggul senapan. 

Patroli KKO menemukan Sundari yang compang-camping dan tergolek lemah di pinggir Kali Widas. Mereka membawa perempuan malang itu ke kota kecamatan.

Tepat di atas kubah langgar Rowolingi, sebuah ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ด enggan untuk pudar. Cahayanya mengekor sepanjang sepuluh depa lelaki dewasa, seolah-olah menegaskan bahwa bisikan alam akan datangnya peristiwa kelam bukan mitos kaum tak kenal Tuhan. Saling gorok sesama kasta ๐˜ด๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ณ๐˜ข terjadi di mana-mana. Bagi mereka hanya ada pilihan: membunuh atau dibunuh, memfitnah atau difitnah—hingga semua berakhir pada klimaks syahwat kebencian di tengah lampusnya nilai kemanusiaan kelak kemudian. Sundari menatap bintang dini hari itu dengan resah-risau-pilu. (*)

๐—›๐—ฒ๐—ฟ๐˜‚ ๐—ฆ๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—”๐—บ๐˜‚๐—ฟ๐˜„๐—ฎ๐—ฏ๐˜‚๐—บ๐—ถ
๐˜Œ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜จ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ธ๐˜ณ๐˜ช๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฐ๐˜ง ๐˜œ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฅ ๐˜ž๐˜ณ๐˜ช๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ด & ๐˜™๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ด ๐˜๐˜ฆ๐˜ด๐˜ต๐˜ช๐˜ท๐˜ข๐˜ญ
Juara I Lomba Cerpen JKN 2021

Posting Komentar untuk "Lintang Kemukus di Atas Kubah Langgar"