Biografi Kebangsatan Ken Dedes




Tidak bisa dipungkiri, salah satu hal yang membuatku tertarik padamu adalah apa yang telah kamu lakukan selama ini. Entah sudah kulontarkan padamu berapa kali bahwa kamulah yang sesungguhnya pantas disebut kesatria sejati. Apa yang kamu lakukan—pengorbananmu—semata-mata hanya untuk banyak orang. Untuk rakyat Tumapel—wilayah bawahan Kediri.

Ingatanku melayang pada saat pertama kali mengetahui kalau kamu yang ternyata selama ini merampok prajurit-prajurit Kediri yang diutus mengumpulkan upeti di suatu tempat lalu dibawa ke istana. Saat itu aku tidak habis pikir. Ya, aku tidak menyangka kalau itu kamu yang melakukan. Kabar perampokan itu memang begitu menggema di sepenjuru Tumapel.

Hasil rampokanmu kamu bagi-bagikan pada rakyat Tumapel. Menurutmu itu satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa yang bertindak semena-mena terhadap rakyat; menarik upeti dengan ngawur tanpa memikirkan sisi kemanusiaan.

“Kamu membahayakan nyawa orang-orang,” kataku.

“Membahayakan?” Kamu mengerutkan kening.

“Ya, membahayakan. Bagaimana jika misalnya ada orang dari kerajaan yang curiga dengan rakyat Tumapel? Apalagi ketika musim paceklik, kamu lebih sering membagi-bagikan pangan.”

“Bagaimana maksudnya?”

“Mereka curiga, tidak ada keluhan-keluhan dari rakyat, lalu bisa saja salah satu dari mereka menanyai beberapa rakyat. Mereka awalnya bungkam, tapi kemudian dipaksa, hingga mungkin dihabisi karena tidak mau mengaku apa yang terjadi sebenarnya,” jelasku.

“Aku sudah memikirkan itu dan aku bisa memastikan semua akan baik-baik saja. Termasuk posisiku saat ini, sebagai abdi kesayangan suamimu, aku sudah memikirkannya, aku sudah mempunyai cara sendiri, supaya semuanya baik-baik saja.”

Nyatanya memang semua baik-baik saja. Apa yang kugelisahkan tidak terjadi. Kehadiranmu telah mengubahku; aku tidak lagi pernah menasehati suamiku, supaya tidak berlaku semena-mena terhadap rakyat atau lebih memanusiakan mereka.

Aku tidak peduli lagi dengan suamiku yang semakin mengagung-agungkan jabatan sebagai penguasa di Tumapel. Aku tidak peduli ia semakin merasa berkuasa. Aku selalu tampak bahagia di hadapannya jika ia mengenang masa lalu, ketika Kertajaya menjanjikan jabatan padanya asalkan dapat memukul mundur pasukan Purwwa yang hendak menghancurkan Kediri.

Kamu telah hadir sebagai pahlawan. Sungguh, sebagai pahlawan. Tak luput aku berterima kasih kepada Dewata telah menghadirkan orang sepertimu di tengah keadaan rakyat yang menderita karena kebijakan penguasa. Tapi, di tengah kekagumanku padamu yang menurutku tidak dapat dibandingkan dengan apapun, ada rasa was-was sesekali dengan perlahan mengisi rongga kepala. Belum lagi, jika aku ingat siapa dirimu di istana Kediri. 

Bagaimanapun kamu itu mempertaruhkan nyawamu sendiri. Bagaimanapun yang namanya pertaruhan ada kemungkinan untuk ketiban sial. Yang kubisa hanya berdoa, untuk keselamatanmu ketika bayangan-bayangan buruk itu muncul. Dan doa-doa yang kupanjatkan, masih terkabul hingga saat ini.

Kamu tidak pernah tertangkap dan terluka karena dikejar-kejar prajurit kerajaan. Kamu selalu bisa melarikan diri. Identitasmu tidak pernah terbongkar, sebab kamu mengenakan kain untuk menutupi wajah dalam setiap aksimu—mungkin kamu bisa dihukum mati oleh suamiku, andai saja kamu tertangkap, ternyata kamulah yang menjadi akar masalahnya.

Arok, apakah kamu ingat dengan perjumpaan pertama kita? Kamu memberanikan diri menghadap suamiku di istanaku suatu ketika. Aku tidak tahu ada urusan apa kamu dan suamiku. Yang jelas saat itu aku melihatmu. Dan aku masih ingat, ketika kamu menyadari bahwa telah menatapku cukup lama, terpancar rasa malu di wajahmu. 

Sebuah perjumpaan yang kemudian melahirkan perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Sebab ternyata kedatanganmu kala itu untuk mengucap sumpah-setia kepada Kediri, kamu bersedia mengabdi kepada suamiku. Kamu diangkat sebagai prajurit oleh suamiku, bersama rekanmu yang bernama Kebo Ijo.

Wajar juga aku sering bertemu, apalagi semakin hari, suamiku tampak semakin percaya padamu. Ketika kamu bertemu suamiku, aku tidak peduli kamu ada urusan apa. Yang jelas hal itu semakin membuat malamku terasa tidak nyaman. Aku tidak pernah benar-benar bisa menikmati melepas penat dengan suamiku saat malam tiba.

Dan baru-baru ini, malamku semakin tidak karuan setelah kamu mengatakan sebuah pengakuan; jika akhir-akhir ini kamu bertemu suamiku, ditumpangi maksud lain, ingin melihatku. Kamu dengan blak-blakan ingin sekali mengajakku ke suatu tempat yang tanpa seorang pun tahu dan membicarakan hal-hal indah bersamaku. Ahh, Arok, keinginanmu membuatku mabuk kepayang!

Singkat cerita, tak butuh waktu lama, kamu mampu mewujudkan keinginanmu. Kita bertemu di sebuah tempat jauh dari Tumapel. Pertemuan ini membuatku merasa seperti peliharaan yang terbebas dari belenggu kandang.

“Sebenarnya aku tidak sepenuhnya membenarkan caramu,” ucapku.

Kutatap matamu dengan penuh harapan, sebuah harapan yang entah sampai kapan terpendam. Dan matamu, tubuhmu yang bidang itu! Jika melihatmu dengan saksama seperti ini, aku seperti ingin mengatakan, “Miliki aku, bagaimanapun caranya!”

“Aku pun menyadari sepenuhnya. Andai saja aku tidak terlahir dari kasta sudra, andai saja aku berada di posisi suamimu. Aku tidak akan menabung karma seperti ini, yang entah kapan tiba padaku,” katamu.

“Apakah tidak bisa seorang sudra menjadi penguasa? Jika Dewata merestui, siapa yang bisa menghalangi?”

Kamu kemudian tertawa keras mendengar ucapanku. Kamu berucap padaku yang intinya tidak perlu aku membesarkan hatinya. Kamu mengaku sudah cukup bahagia telah melakukan semuanya, seorang diri, demi Tumapel.

Arok, bagaimana jika ketidakmungkinan itu menjadi kenyataan? Pertanyaan itu kemudian menggiringku pada bayangan-bayangan kemungkinan-kemungkinan, yang kemudian aku menyadari bahwa aku telah menjadi seorang bajingan. Ya, bajingan. Aku tidak salah lagi. Aku mengakui. Tapi siapa yang peduli?

Semua ini terjadi begitu saja, tidak dapat dibendung. Dewata telah membuat alur cerita kehidupan untukku, dan kamu? Jujur, hari melipat hari, aku semakin hampa dalam hari-hariku di istana.

“Aku percaya, Dedes. Suatu ketika Dewata akan menyatukan kita. Aku punya keyakinan itu,” Kali ini tatapanmu sedikit serius. Tatapan itu semakin membuatku tidak berdaya.

“Apa yang membuatmu begitu yakin?”

Tentu sebuah kewajaran, keluar kalimat itu. Dengan keadaan yang seperti ini—aku suami seorang penguasa—rasa-rasanya sulit untuk terwujud. Entah, kenapa tiba-tiba aku terpikir sesuatu, pikiranku menjelma sebilah parang dan menusuk dadaku.

Itu yang kemudian membuatku menyalahkan Dewata. Mengapa kamu harus hadir dalam kehidupanku? Dan sekarang? Aku merasakan kehadiranmu membuat keadaan menjadi begitu pelik. Sekarang dan kelak.

“Oh, Dewata, mengapa kebahagiaan yang engkau berikan padaku, harus datang dengan cara seperti ini?” Keluhku.

Namun, pada akhirnya aku tidak kuasa menahan semuanya. Aku tidak bisa melepaskanmu. Aku tetap berharap kamu datang ke istana agar kita saling bertemu. Arok, akhirnya aku harus mengatakan terang-terangan kepadamu; aku sangat mencintaimu.

Pada akhirnya aku benar-benar membiarkan. Masa bodoh suatu ketika kita diketahui oleh suamiku. Jika aku harus berpisah, aku sangat rela. Aku sangat rela, tidak lagi menjadi istri seorang penguasa. Toh, aku tidak pernah benar-benar menerima kehadirannya. Aku mau menjadi istri Tunggulametung, hanya demi ayahku yang berhasil dipukul mundur olehnya. Jika tidak, ayahku sudah dibunuh karena sudah kalah tak berdaya. Aku sudah menceritakan semuanya bukan?

Tanpa kamu tahu, semenjak aku memutuskan untuk membiarkan semuanya; perasaanku padamu, aku selalu memohon kepada Dewata agar kita dipersatukan. Persetan, bagaimana caranya. Itu sebuah permohonan yang membuatku semakin merasa menjadi seorang bajingan. Demi kamu, Arok. Tak apa aku menjadi seorang bajingan. Toh, jika dipikir-pikir suamiku lebih bajingan, memanfaatkan keadaan disaat ayahku tak berdaya. Siapa yang lebih bajingan, Arok?

Dan malam ini, aku benar-benar telah menjadi seorang bajingan sepenuhnya. Kamu telah menjelaskan sebuah rencana untuk mewujudkan keyakinanmu. Sebuah rencana yang sangat-sangat gila yang membuatku bahagia. Bahkan awalnya aku sampai tidak percaya kamu mempunyai rencana itu.

“Dedes ketahuilah, sudah lama aku merencanakan semua ini. Aku sudah menyusun semuanya dengan begitu rapi, termasuk membuat bagaimana caranya supaya aku tidak celaka. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu,” ucapmu.

“Bagaimana mungkin kamu tidak akan celaka? Kamu gila, Arok,” responku, dengan nada sedikit syok.

Kamu tidak memberikan penjelasan akan pertanyaanku. Kamu menyuruhku untuk tenang. Aku pun menyanggupi membantumu. Aku tidak sabar. Aku tidak sabar memilikimu.

Malam ini adalah malam yang kutunggu-tunggu. Sebuah malam yang akan menjadi titik pijak perjalanan hidupmu, Arok. Ketidakmungkinan itu sebentar lagi bisa jadi kenyataan. Kamu sudah direstui rakyat Tumapel untuk menjadi penguasa.

Dan keyakinanmu terwujud. Aku telah membuat bagaimana caranya agar rencanamu berhasil. Aku sengaja menyuruh suamiku untuk tidur terlebih dulu.

Rasa-rasanya aku tidak percaya bahwa ternyata Dewata tidak sekejam yang ada di pikiranku selama ini; menyiksaku dengan perasaan yang kurasakan. Aku tidak menyangka, Dewata begitu cepat mengabulkan permohonanku.

“Sekarang, apa kamu masih tidak yakin, kalau Dewata tidak akan bisa menyatukan kita?” ucapmu. Sorot matamu begitu jelas, di tengah kegelapan kamar kebesaranku yang gelap—sengaja kubuat demikian.

“Dan sekarang apa kamu masih tidak percaya jika seorang sudra tidak bisa menjadi penguasa? Dewata telah merestuimu,” balasku. Wajahku dan wajahmu begitu dekat. Aku sangat ingin bibir itu.

Kamu berulangkali memujiku telah membantu menjalankan rencananya. Barangkali aku memang sudah tidak waras. Kamu, kamu, kamu akhirnya menjadi milikku. Dan aku? Aku, aku, aku adalah bajingan yang patut merayakannya di tengah-tengah genangan darah. Di kamar kebesaranku, kamu telah berhasil membinasakan suamiku.

Malam ini, bersamamu, aku menikmati kebahagiaan terbesar yang pernah kurasakan. Mungkin di seumur hidupku. (*)


Gang Beo, Maret-Juni 2023


Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2021. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat Instagram @risendhawuhabdullah.


Nio Zaharani, pengajar di SMPN 1 Loceret. Bergiat seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.

Posting Komentar untuk "Biografi Kebangsatan Ken Dedes"