Puisi Vito Prasetyo


 


Kekasih

 

moksa, aku gelisah

kenapa engkau bertanya, dimana Tuhan

bukankah hidup singkat?

seringkas kenangan mengarungi musim

di mana tanah-tanah ini telah menuntaskan kerinduan kita

dalam frasa samar: kekasih

sebab itulah keabadian

 

Malang, 2024

 

Retak

 

engkau menghampiriku

tatkala pikiranku retak

entah, apakah masih ada tempayan di langit

untuk menyulam aksara rindu

yang tersumbat dalam pikiran kita yang sempit

 

Malang, 2024

 

Puisi Rindu

 

ada  yang tertumpah di garis daun

sepasang helai gelisah

mengalir dari murkanya riak hujan

sementara sajak kita, segumpal metafora

hanyut dalam rindu tak berwujud

dan dibaca pada musim kemarau

yang telah kehilangan segala peristiwa

tatkala puisi tak lebih dari sederet abjad tak bermakna

 

Malang, 2024

 

Di Sungai Brantas Mengalir Rindu

 

: untuk perempuanku, Arsy

 

engkau  pergi jauh

punggungmu rebah, terlentang di tembok zaman

dengan segumpal aksara luka

itu tersisa dari jejak gelisah

musim pun tak lagi riuh

tebarkan pesona rindu

entah kenapa jaringku terkoyak

di pertemuan hilir dan hulu Sungai Brantas

 

kini, punggungmu tanpa bekas

kemarau begitu cepat menghapusnya

dan sinar meruncing pada tatapanku

setajam dahaga di padang tandus

 

engkau mencoba menghimpun kenangan

sehimpun garis-garis cahaya dari kudapan waktu

berkelana menyusuri ceruk sungai

meski rindumu telah karam terbawa arus

sajakku jatuh, aksara berserakan

pikiranku letih dan penat

sebab sungai telah kering

dan bait-baitku tak mampu lagi

melingkar di jemarimu

 

Malang, 2024

 

Kitab Terakhir

 

sisa musim dingin, masih

melekat di tubuhku

matahari enggan mendekati

seakan menjaga jarak

masih adakah sisa bara api menghangatkan

di tungku perapian yang kehilangan keberanian

tubuhku meringkuk, mendekap gigil

dalam selimut salju

 

di kejauhan pandang,

sepasang serigala mengintai

seakan ingin membaca takdir

dari petuah tradisi yang belum dibacakan

tatapannya bagai mengiris urat nadi

menunggu perjamuan kudus tiba

merayakan syair kematian

 

adalah serumpun malam terlewati

bagai penantian tanpa penghujung

majas-majas rindu menjelma kredo luka

suara burung malam memekakkan telinga

menggegas nyanyian dalam orkestra klasik

di kutub terdingin, puisi terpenggal

seperti larik malam tanpa cinta

tubuhku berhamburan

ringkih, di tumpukan kisah

mungkin akan tertulis di lembar terakhir

pada kitab-kitab usang

hingga langit bersorak

bukan untuk menyimpulkan catatan buku

 

Malang, 2024

 

Epilog Hari Ini

 

/I/

selepas pagi menyambut sinar

kita rebahkan badan dalam kesibukan

waktu berjalan, kita mengejar

kadang naik angkutan kota, sambil berdesak-desakkan

keringat pun membaur beraroma cinta

 

/II/

selepas siang, mentari semakin menyengat

peluh menetes membasahi tubuh

kita mulai membekap penat

pikiran terasa semakin penuh

segala gelisah tumbuh bagai jamur

mungkin ini sudah menjadi penyakit masa kini

 

/III/

selepas senja, lembayung tertanam di kaki langit

burung-burung pun mencari peraduannya

wajah-wajah mulai berbinar kembali

satu-dua tetap tampak kusut

badan terasa pekat bercampur dekil

ingin segera membasuhnya bersama kesegaran air

untuk memantikkan aroma baru di tubuh

 

/IV/

selepas malam, angin mengibaskan cinta

kita tiriskan resah dan penat yang menggumpal

menyandarkan pikiran dalam senandung sajak

sehari telah terlewatkan untuk menuai hari esok

lalu kita rajut, mata terpejam penat dalam tidur

 

Malang, 2024

 

Gadis Berpita Jingga

 

tatapanmu kadang terkesima langit

seakan menerobos putihnya sinar

dan berkelana menggapai angan

pada tepian telaga bertilam angin

meninggalkan sutera selimut malam

setelah melumat semua keindahan mimpi

 

gadis berpita jingga

di tengah kerinduan itu

menghunjam batas pandang

menerobos pekatnya malam

hingga lentik mata itu terkulai

'kaubaringkan segenap penat

setelah hilangnya perjalanan waktu

dari siang hingga menjemput senja

 

di tepian telaga, yang mulai membisu

gadis berpita jingga mencoba menerka makna

di atas bahu angin kemarau

hingga genggaman aroma tubuhmu mulai rapuh

tertusuk rindu dengan jemari asmara

kini impianmu tertidur pulas

sebelum pesona malam hadir kembali

bersama gesekan biola di tengah padang rumput

menggemakan asmaradhana dalam pekatnya rindu

mungkin tersibak dari percikan air telaga

menembus batas-batas hatimu

 

saat bening pagi menyapa alam

sepasang merpati di kejauhan atap rumah

menyaksikan keresahan hatimu

seakan menerangkan tentang hidup

menuangkan dalam bejana waktu

hingga menyisakan cinta untuk hari esok

 

Malang, 2024

 

  


VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, Februari 1964 – Agama: Islam – Bertempat tinggal di Kab. Malang– Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, peminat bahasa & budaya.

Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa  telah dimuat puluhan media cetak lokal, nasional, dan Malaysia, antara lain: Koran TEMPO – Media Indonesia (Jakarta) –  Jawa Pos – Kompas.id -  Pikiran Rakyat (Bandung) – Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) -  Republika (Jakarta) – Solopos (Surakarta) –  Majalah Pusat – Suara Merdeka (Semarang), dll. Beberapa kali masuk nominasi dan juara, antara lain: Juara 3 Lomba Cipta Puisi Grup FB HPI Tahun 2022. Bisa disapa di Fb/vito.prasetyo – Instagram: @vitoprasetyo5.


Sembunti, ilustrasi karya NIO ZAHARANI, pengajar di SMPN 1 Loceret, Nganjuk. Menjadi aktivis seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.

Posting Komentar untuk "Puisi Vito Prasetyo"