Di Rumah Pak Penghulu, Bulan Telah Menelan Tubuh Ibu




Delapan tahun lalu, ketika orang-orang di kampungku berkerumun dalam bangunan lingkaran setinggi semeter yang tersusun dari bata merah yang sedikit berlumut di tepi sampingnya, kudengar mereka, para tetanggaku, berulang menyebut nama Ilahi. Bangunan tua itu letaknya persis di samping kanan rumah pak penghulu. Mereka terus berteriak-teriak, beberapa ibu-ibu tetangga menangis histeris, Pak No yang kukenal sering menjala ikan di kali juga sigap mencari tangga, menyambungnya dengan tambang, lalu segera memasukkan benda tadi dalam bangunan lingkaran yang menjulang ke bawah.

 

Mereka semua tak tahu (tentu saja, aku tak ingin bercerita pada mereka), jika malam sebelum kejadian itu aku melihat bulan dari samping jendela rumahku yang terbuat dari anyaman bambu tampak cerlang cemerlang layaknya air bening. Aku terus saja mendongak ke atas dan melihat bulatan aneh yang bening itu. Aku kira guru IPA di kelas tujuh tak berbohong dan pernah mengatakan bahwa bulan bukanlah benda cair. Namun, aku yakin bahwa yang ada di atas sana tentulah bulan.

 

Pak Tardi, guru IPA di kelasku bilang bahwa di bulan hanya ada daratan dan kawah-kawah. Tak ada air. Ia bisa bersinar karena pantulan dari sinar matahari. Di sana juga katanya hampa udara, tanpa oksigen. Manusia tidak akan bisa hidup jika tinggal di bulan tanpa membawa oksigen sendiri. Hal itu yang kadang merusak pikiranku, untuk apa Tuhan mencipta bulan jika hanya sebagai pantulan matahari? Untuk menerangi malam? Sudah ada lampu LED yang dijual di warung. Kukira akan lebih cocok jika bulan itu dengan sinarnya yang kuning lembut dan hangat, bisa untuk menambah dramatisasi orang-orang yang pacaran di bawah pohon randu saat malam Minggu.

 

“Menurutmu bulan itu perempuan atau laki-laki?”

 

“Apakah semua yang ada di semesta ini harus punya kelamin?”

 

“Tentu saja, jagat raya selalu memadukan dua unsur berbeda demi kesempurnaan. Layaknya sabda Tuhan. Ada betina ada jantan, ada putih ada hitam, ada jauh ada dekat, ada dendam ada rindu.”

 

“Ada aku, ada kamu. Kamu memang kritis dan romantis. Apa hari ini kamu akan menuliskan percakapan kamu dan aku ini dalam ujian puisi kali ini?”

 

“Tentu saja Bu Sri. Aku tak ingin Radit di belakangku mencuri dialog rindu kita lalu menuliskan dalam buku hariannya.”

 

Semua murid tertawa. Tak terkecuali aku yang nyengir kecut, seusai percakapan yang aku buat sok romantis dalam drama yang akan kami tampilkan besok dalam acara pentas seni. Ibu Sri bertepuk tangan sendiri dan dalam denting bel pulang yang selalu aku tunggu. Di kepalaku masih tersimpan rapi sebuah mimpi jika bulan di samping rumahku tiba-tiba berubah jadi benda cair lalu menghisap tubuh ibu ke dalamnya. Awalnya, aku tak pernah ingin cerita mimpi aneh ini. Takut ditertawakan. Ketika aku cerita pada guru Bahasa Indonesia yang sangat menyayangiku itu, Bu Sri hanya bilang, “Kamu memang imajinatif. Namun, tidak semua yang terjadi di semesta adalah jelmaan metafora para penyair. Kamu bisa bedakan mana mimpi mana kenyataan. Pergunakan kemampuanmu ini untuk memajukan dunia sastra di negara kita. Aku rasa kaulah orangnya nanti.”

 

“Apa yang aku ceritakan ini benar Bu.”

 

“Beberapa mimpi akan bisa menjadi nyata. Namun, apakah kenyataan juga harus merujuk pada mimpi-mimpi sebelumnya? Tidak ‘kan? Aku paham kamu paling cerdas di kelas. Ingat Nak, mimpi tetap mimpi. Kadang bisa jadi nyata, kadang tidak. Hanya kenyataan yang terjadi nanti yang akan kita ikuti jalannya.”

 

“Berarti Ibu tak memungkiri mimpiku ini ‘kan?”

 

Dua hari setelah aku memendam mimpi aneh itu, dalam pendar lampu 10 watt LED yang mulai redup sebab sudah lebih lima tahun pakai, ketika aku terduduk di kursi rotan depan meja belajar, ibu tiba-tiba datang ke kamarku dan mengelus kepalaku dari belakang. Buku puisi masih aku pegang di kedua tangan. Di sana, masih jelas pelan kubaca dalam hati deretan huruf yang baru saja bersuara lirih padaku, “Jangan kau ulang lagi, menjenguk wajah yang merasa sia-sia. Yang putih yang pasi itu. Jangan sekali-kali membayangkan, wajahmu sebagai rembulan.” (1)

 

Ketika aku menoleh, wajah ibu telah menjelma rembulan.

 

“Nak, aku tahu bagaimana susahnya membesarkanmu seorang diri. Tanpa saudara. Kamu pun tak tahu harus ke siapa memanggil kakek dan nenek di kampung ini. Yang ibu yakini jika hidup harus terus berjalan. Apa yang akan terjadi esok selalu jadi misteri dan bagi beberapa orang, itu sangat menakutkan. Namun, hari ini ibu ingin mengubah ketakutan itu jadi harapan. Bukan berarti ibu orang lemah yang harus bergantung pada orang lain, tidak. Kamu belum paham apa itu cinta. Nanti, kau akan merasakannya setelah dewasa. Ibu tahu, kamu tentu akan sulit menerima karena ibu tak pernah cerita sebelumnya. Ini juga demi masa depanmu. Masa depan kita. Maka hari ini, ibu ingin bilang padamu jika minggu depan ibu akan menikah. Siapa lelaki itu? Kamu pernah bertemu dengannya dua kali di warung bakso dan di depan masjid. Kamu pasti paham.”

 

“Ibu yakin? Tidakkah terlalu cepat?”

 

“Tekad yang kuat demi kebaikan akan membuatmu yakin Nak.”

 

Ketika tenda biru ditegakkan dan buket bunga diletakkan berjajar di pelataran, saat itu pula mereka mengumumkan kebahagiaan. Mengundang para tetangga juga untuk datang berbagi kebahagiaan.

 

Maka ketika arak-arakan dimulai dari depan rumahku menuju calon pengantin pria, entah kenapa aku tak sekalipun merasa bahagia. Kata ibu, laki-laki itu memang baik, ramah, dan penyayang. Itu sebab ibu jatuh cinta padanya. Laki-laki penjual sandal keliling yang sering menawarkan dagangannya dengan truk pikap. Ia memang terlihat ramah, pada siapa pun. Termasuk aku. Tentu saja, mana ada penjual ketus dan pasang muka garang, jualannya nanti tak laku. Murah senyum dan ramah itu benar-benar meluluhlantakkan dinding pertahanan hati ibu setelah hampir belasan tahun menjanda. Ia memang laki-laki yang ramah. Lagi-lagi itu kata ibu.

 

Pak No yang merancang semuanya di hari pernikahan. Dari sewa sedan dan odong-odong untuk mengangkut para tetangga. Dari makanan dan minuman yang harus dibawa. Semuanya. Ia serupa bapak yang punya kaitan tali darah antara aku dan ibu. Padahal, ia sebatas tetangga yang (barangkali) begitu kasihan melihat kami. Tiga belas tahun lalu, ibu ditemukan tertidur di pos ronda dalam keadaan lemah tak berdaya dengan membopong bayi yang masih berlumur darah. Dalam deras hujan sehabis isya itu, warga gempar dalam gemuruh hujan dan tangisan bayi. Buru-buru warga meminta bantuan bidan dan membawa ibu ke Pak RT. Atas persetujuan warga karena mereka baru tahu ibu tak punya sanak saudara, akhirnya tubuh ibu berhasil ditampung di rumah sebelah Pak No. Rumah kosong yang ditinggalkan pasangan renta tanpa anak yang mati bergantian tiga tahun sebelumnya.

 

Kalau boleh memilih, aku seakan tak rela ibu dimiliki pria lain selain aku. Dengan tubuh yang terduduk di sebelah Pak No ketika odong-odong berjalan pelan menuju calon pengantin pria, rasanya belum pantas aku berucap penolakan. Aku belum lupa kapan terakhir kali ngompol. Aku masih ingat, kapan terakhir kali berkelahi dengan Seto di pematang sawah karena berebut layangan hingga tubuh kami belepotan lumpur. Aku ingin bilang tidak, tetapi ibu seolah mengiyakan dan dalam bulatan wajah cerah itu, wajah rembulan itu berkata semua akan baik-baik saja.

 

“Pak No, kok bukan pihak pria yang ke sini to?”

 

“Kemarin sudah sepakat. Acara hajat dilaksanakan di tempat mempelai pria. Tak ada yang salah ‘kan Bu Ndar? Ibu paham keadaanya Sri. Yang penting sah. Alasan simpel sih. Pak penghulunya sepupu calon mempelai pria. Jadi lebih dekat dan hemat.”

           

Ibu-ibu di sebelahku yang ingin tahu terus mencecar Pak No ketika kulihat mobil sedan yang berisi tubuh ibu berjalan lebih dulu di depan. Setahuku memang biasanya hajatan dilakukan di tempat calon wanita. Jadi paham jika sebuah keadaan bisa mengubah jalannya acara. Kulihat Pak No nyengir menjawab celoteh itu.

 

Sampai di pertigaan jalan masuk desa, sedan dan odong-odong masuk perlahan menuju rumah calon suami ibu. Kami turun bergantian dengan pintu odong-odong yang sempit. Lalu kerumunan orang-orang telah menyambut kami dalam sukacita walau dalam hati, aku tak merasakan apa-apa. Ibu akhirnya didudukkan dalam kursi putih, seputih gaun ibu, bersanding dengan pengantin pria dengan setelan jas dan celana hitam. Aku tak menyangka, penjual sandal itu rambutnya sangat klimis hari ini.

 

Tiga menit menunggu, ketika pak penghulu tiba-tiba berjalan datang menemui ibu dan calon suaminya, aku lihat wajah ibu tetiba langsung meredup. Wajah ibu yang setiap malam kuelus dan kulihat sekelilingnya putih bersih bercahaya bagai rembulan itu, hari ini tiba-tiba padam. Pekat. Hitam. Gelap. Entah apa yang terjadi pada ibu sejak pak penghulu itu datang. Ibu malah gegas menyeret gaunnya. Berlari kencang sambil menangis. Kami semua kebingungan. Terendam dalam berbagai pertanyaan.

 

Kegemparan itu makin bertambah ketika kami tak kuasa menahan langkah kaki ibu yang begitu cepat. Dan di samping rumah pak penghulu, ibu telah ditelan sumur tua sedetik yang lalu. Kejadian itu begitu cepat. Antara bingung dan gemetar, Pak No mengayunkan tubuhku ke dada pak penghulu. Dalam teriakan cemas dan khawatir para tamu undangan, Pak No berhasil turun dengan menyambung tangga. Sayang, hingga sore menjelang, sampai air di dalam sumur disedot mesin, tubuh ibu tak pernah ditemukan.

 

***

 

Kususuri rindu dalam rindang rerumputan sepanjang jalan menuju sumur tua yang jadi saksi kematian ibu. Aku selalu menyempatkan menabur bunga setaman di hari kepergiannya. Kulihat dari atas bibir bangunan melingkar dalam kedalaman sekitar tujuh meter, bebungaan mawar dan kenanga itu mengambang, berbenturan satu sama lain. Betapa bening air sumur di dalamnya, bercahaya, berkilau, mirip bulat wajah ibu yang bening, yang saban malam kuperhatikan setelah ibu membaluri tubuhku dengan doa-doa. Kubalas doa-doa itu hari ini:          

 

            Sementara kita saling berbisik

            lebih lama tinggal

            pada debu, cinta yang tinggal berupa

            bunga kertas dan lintasan angka-angka

 

            ketika kita saling berbisik

            di luar semakin sengit malam hari

            memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sia

 

            unggun api

            sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi. (2)

 

Nyekar Dik?”

 

Kutoleh. Pak penghulu yang delapan tahun lalu pernah memeluk tubuhku dalam kegaduhan dan kengerian ketika akad baru saja akan dilaksanakan. Kutebar senyum. Kubalas sapa dengan wajah yang rindang dan teduh. Walau sampai sekarang aku tak tahu, sebab apa ibu tiba-tiba melakukan hal aneh sebelum kematiannya. Jalan takdir yang masih sulit aku terima.

 

“Kalau tidak sibuk bisa mampir. Ngopi atau ngeteh.”

 

“Oh, terima kasih. Tetapi mohon maaf saya sudah ditunggu teman saya. Ada tugas dadakan dari kampus. Mungkin lain waktu. Aku titip ibu di sini ya Pak.”

 

Kulihat pria itu mengangguk saat aku bersalaman pamit. Gegas kurapikan tas di pundak, kulangkahkan kaki meninggalkan sumur tua itu. Samar terdengar di telinga, teringat deretan cerita Pak No seminggu yang lalu bagaimana aku terlahir tanpa ayah. Ditemukan tak berdaya dalam dingin dan kelaparan. Namun, Pak No seolah malaikat yang datang menyembuhkan luka itu.

 

Dalam samar suara yang hanya bisa didengar desau angin, lelaki yang masih berdiri tak jauh dari sumur tua itu menjawab dalam sudut mata yang mengembun. Tanpa jawab. Sesuatu berdenyut-denyut di dadanya. Sungkan dan malu membuat ia tak mampu memeluknya.

 

(1) kutipan puisi milik Sapardi Djoko Damono berjudul Menjenguk Wajah di Kolam

(2) kutipan puisi milik Sapardi Djoko Damono berjudul Sementara Kita Saling Berbisik

 

Dody Widianto lahir di Surabaya. Saat ini menetap dan bekerja sebagai abdi masyarakat di Purworejo, Jawa Tengah. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, Suara NTB, dll. Akun IG: @pa_lurah.

 

Nio Zaharani, pengajar di SMPN 1 Loceret, bergiat seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.

Posting Komentar untuk "Di Rumah Pak Penghulu, Bulan Telah Menelan Tubuh Ibu"