Metaformosa Keheningan




Aku sangat berharap keheningan ini segera pecah oleh suaraku atau suaramu, mengingat penjalanan ini tidak akan lama. Kelegaan pertama sudah kudapatkan ketika kamu memilih membuka pintu depan daripada pintu belakang. Sebelum kamu benar-benar naik, aku beruntung, beruntung sekali selayak menemukan segerombol jamur trucuk di musim penghujan seperti saat ini. Dioseng atau dijadiakan sup rasanya sama nikmat dan hanya bisa dirasakan setahun sekali. Wajah dan postur tubuhmu yang mirip sekali Faradilla Yoshitaka itu sempat kucuri lihat. Karena kunci tidak segera kubuka, anugerah dalam keheningan sesaat itu seoalah telah menyebabkan isi dadaku dipenuhi es batu. Bukan itu saja, kesempatan mencuri lihat wajahmu telah mampu menghentikan putaran waktu dalam kehidupan ini walau hanya beberapa detik saja.

Tanpa kata-kata kita mulai perjalanan ini. Perkebunan dan hutan di kanan-kiri jalan adalah kambing hitam tatapan mataku dan tatapan matamu. Sungguh tidak adil, apa salah pemandangan kebun dan hutan itu? Sehingga kita sama-sama, seolah menjadikan mereka sangat layak dipandang—padahal ada yang sebenarnya sangat ingin dipandang dan memandang, berucap dan mengucap, mencandai dan dicandai—tidak sepengecut ini dan memilih mengkambinghitamkan perkebunan dan hutan.

Waktu kamu berdiri di tepi jalan sendirian dan kuhampiri, aku tidak pernah berpikir kalau kita akan berangkat berdua saja. Kebiasan burukku, terlambat dan terlalu santai untuk acara penting. Mungkin kamu terlambat juga dan sudah mendapati tempat janjian berkumpul sebelum berangkat sudah sepi. Aku terlalu takut melihatmu. Lebih tepatnya minder, kangen, dan ciut untuk sekadar bercakap. 

Tidak terasa kita telah meluncur lebih jauh. Pemandangan perkebunan dan hutan sudah tidak ada, sebentar lagi masuk kawasan pasar. Pasar yang sudah banyak berubah dibandingkan dulu; sama seperti kamu. Dulu ada gapura besar yang kedua tiangnya berada di sisi kiri dan kanan jalan. Saat hujan lebat para pengojek akan memanfaatkannya untuk berteduh. Di sore hari, Pak Loso dan istrinya berjualan lontong di situ, tepat di bawah gapura besar itu. Lontong kesukaan bapakmu. Gapura besar itu sudah dirobohkan oleh kontraktor pengembang pasar sejak beberapa tahun yang lalu.

***

Gadis berseragam SMK itu basah kuyup, sementara tidak ada lagi angkutan umum menuju Sawahan. Len-R sudah habis setelah magrib. Kuhentikan motorku dan menanyai gadis itu, ternyata searah denganku. Waktu sampai gapura besar Pasar Sawahan, ia memintaku berhenti. Menurutnya—bapaknya sedang sakit dan minta dibelikan lontong—hanya lontong Pak Loso yang dia mau. Menunngu pesanan lontong Pak Loso memerlukan waktu yang lama, antriannya terkenal mampu membuat kesemutan. Dari obrolanku dengan gadis itu akhirnya aku tahu, ia pulang kemalaman karena sepulang sekolah masih harus menebus resep untuk bapaknya yang sakit.

Kuantar gadis itu sampai di rumahnya. Yang paling kuingat, dia memberikan sebungkus lontong Pak Loso padaku.

“Anggap rasa terima kasihku pada sampeyan,” lirihnya saat itu.

“Tidak apa. Aku ikhlas. Aku tidak begitu suka lontong,” sergahku.

“Ya, sudah. Berikan ibumu,” pangkasnya, lalu segera berlari kecil memecah barisan gerimis. Ia membalikkan badan dan melambaikan tangan setelah sampai teras rumah.

Kukemasi lontong ke dalam tas di sebalik jas hujan. Kukemasi juga rasa penasaran tentang nama gadis itu, kubalas melambaikan tanganku dan segera memacu motorku ke arah jalan pulang.

Sesampainya di rumah—semua memandangiku seperti alien—setelah kuserahkan lontong pada ibuku dengan mengatakan pemberian seseorang. Aku sendiri juga berpikir aneh. Bawa oleh-oleh satu dan itu lontong. Kami serumah tidak benci lontong, tapi jarang sekali jajan lontong. Setelah mencicipi lontong itu, giliran ibuku yang membuat onar. Ia sengaja menyisakan tiga potong dan dilumurinya dengan bumbu. Disuapkannya padaku, masku, dan bapakku. Bagiku rasanya biasa saja, tapi bagi tiga anggota keluargaku yang lain tidak. Lontong itu lontong terenak menurut mereka.

Tidak cukup sampai di situ, ibuku semakin penasaran tentang siapa yang memberikan lontong itu. Kujawab tidak tahu karena memang tidak tahu. Ibu berhenti menyelidik setelah kukatakan aku tahu tempat membeli lontong itu. Berkali-kali aku diminta keluargaku membeli lontong. Hanya lontong yang sama seperti yang pernah diberikan gadis tanpa nama itu; lontong Pak Loso. Bekali-kali pula aku berharap bertemu gadis berseragam SMK yang belum kuketahui namanya di bawah gapura besar tempat Pak Loso menciptakan antrian itu. 

Aku hanya berharap bisa tahu siapa namanya, atau kalau boleh lebih, sedikit mengobrol dan mentraktir beberapa bungkus lontong untuknya tanpa peduli sudah kesemutan dan justru menambah pesanan. Sama seperti naluri-naluri milik semua lelaki yang sebenarnya kasmaran, tapi tidak mau mengakui dan memilih berpura-pura meski hanya pada diri sendiri. Biasanya trik berikutnya adalah mencoba mengulur waktu dengan segala cara, mungkin lupa kalau waktu adalah satuan yang tetap dan berirama tetap. 

Betapa bodohnya semua lelaki yang mencoba mengulur waktu dengan berbagai alasan dan cara agar bisa lebih lama bersama pujaan hatinya. Pun, hal bodoh itu hanya angan belaka dibenakku. Seandainya aku bertemu gadis berseragam SMK itu. Seandainya dan seandainya-seandainya yang kuulang berkali-kali. Seandainya yang lama-lama berubah jarum-jarum kecil di dalam kepalaku. Tusukan dan nyerinya khas. Membuat sedikit pusing dan ingin terus mengulanginya. Hingga akhirnya senyuman dari teras rumah yang terhalang barisan gerimis itu menjelma menjadi jarum juga dengan ukuran yang lebih besar. Sungguh menyiksa!

Kesempatan itu datang, aku bertemu dengannya. Bukan di bawah gapura besar tempat Pak Loso jualan, tapi di koridor kamar mayat RSUD. Kulihat dia dengan beberapa orang berlari kecil mengiringi emerngency bed yang membawa mayat menuju ambulance yang sudah menunggu. Setelah berhasil mengejar, kuberanikan diri menepuk pundaknya yang berguncang sesenggukan.

“Ingat aku,” lirihku agak bergetar. Dia mengangguk, lalu memelukku seolah aku kerabat dekatnya.

“Bapak, Mas,” getar suaranya begitu dekat telingaku.

Dadaku yang berdebar keras karenanya—atau hanya ikut terbawa suasana dan terguncang karena sesenggukannya kian menjadi—aku tidak tahu. Untuk beberapa saat kubiarkan dia memeluk dan menumpahkan air mata di pundakku.

“Sabar, ya.” Kuangkat kedua lengannya dan perlahan kubuat jarak di antara kami.

“Ibuku kritis, serangan jantung,” lanjutku.

Kulihat wajahnya kebingungan, seperti ingin menyampaikan banyak hal. Kutepuk-tepuk pundaknya, seolah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berpamitan dan dia juga bergegas menuju mobil yang sudah siap di belakang ambulance. Aku dan dia banyak disekap keheningan saat itu, banyak hal yang ingin kami utarakan dengan kata-kata. Keheningan yang menang dan kami hanya diam. Untuk sekadar bertanya siapa namanya saja, tidak pernah mampu kulakukan.

Kondisi ibuku tidak kunjung menunjukkan kemajuan positif. Dua hari setelah aku bertemu dengannya, ibuku berpulang. Setelah tujuh hari kemudian, aku diam-diam mengunjungi rumahnya tanpa diketahui keluargaku. Aku sangat ingin untuk sekadar mengucapkan turut berduka atas kematian bapaknya.

Dari pertemuanku di rumahnya, akhinya kuketahui namanya Rena. Renata Soewardoyo. Nama yang kusimpan rapi sampai sekarang. Nama yang sebenarnya sudah kututup rapat ceritanya dalam rangkaian kisah hidupku.

“Jangankan melamarnya, untuk bertemu dengannya lagi saja aku melarang,” hardik Bapak, setelah aku mencoba meminta restu.

“MbahnyaWardoyo kui yang memasukkan Mbah Buyutmu dalam daftar merah. Ngerti koe Lee!” lanjut Bapak berapi-api.

“Mbah Buyutmu dipateni! Padahal tidak tahu apa-apa. Hanya karena ikut bersilaturahmi ke rumah si jabang bayi,” lanjut Bapak lagi. Lebih geram dan lantang.

Cerita pembantaian orang di masa lalu itu sering kudengar dari sesepuh desa. Utamanya yang berkaitan erat dengan desaku. Konon, saat ada acara sepasaran kelahiran bayi di salah satu rumah warga, ada yang melapor dan menyebut bahwa semua yang hadir di acara itu adalah komunis. Laporan itu disampaikan dalam keheningan, artinya diam-diam. Menurut desas-desus ada yang beruntung karena mendengar berita yang bocor itu, lantas tidak jadi datang. 

Yang diperbincangkan di warung-warung setiap membahas peristiwa kelam itu adalah pelapor dari desa tetangga. Seenaknya saja mengatakan bahwa semua yang datang di acara sepasaran bayi itu terlibat komunis, padahal tidak.  Konon, semua hanya konon. Akhirnya yang datang malam itu benar-benar dibantai secara sadis. Menjadi bagian dari setengah juta jiwa yang telah dibantai dan tercatat sebagai orang-orang pendukung PKI di negeri ini.

***

Belum satu kata pun keluar dari mulutku, juga mulutmu. Perjalanan menuju pesta pernikahan Dea sudah hampir separuh jalan. Dea adalah anak semata wayang Pak Loso. Aku mengenalnya juga darimu, lebih tepatnya Dea adalah penghubung antara aku dan kamu. Dari Dea aku mendengar cerita tentangmu, begitu juga sebaliknya. 

Nganjuk sekarang berbeda dari Nganjuk yang dulu. Pabrik-pabrik mulai berdiri dan anak-anak petani lebih memilih gaji daripada panenan. Kafe-kafe dan aneka lesehan turut mengikuti irama bergeliatnya kota kecil yang mulai berhias serupa kota-kota lainnya. Kamu juga berhasil mengembangkan usaha fried chicken crispy yang cabangnya sudah merambah kota sebelah. Kamu lebih memilih berwirausaha setelah lulus AKBID. Namun, aku masih merasa kamu gadis berseragam SMK yang dulu berlari kecil memecah gerimis itu. Gadis berseragam SMK yang akhirnya kuketahui bernama Rena. Rena yang diam-diam bersepakat denganku untuk saling menunggu sampai mendapat restu. Saling berjanji untuk tidak menyakiti hati orangtua masing-masing sampai kapan pun. Maka setiap kali ada yang lain, jawabannya adalah tidak. Pun, tidak nekad pergi meninggalkan orangtua demi kesenangan sendiri. Saling berjanji yang akhirnya menciptakan keheningan abadi.

Aku ingin keheningan ini segera bermetamorfosa menjadi tarian kupu-kupu yang mengundang riuh tepuk tangan. Sudah cukup keheningan-keheningan yang akhirnya pecah oleh tangis dan air mata seperti masa-masa kelam yang kuanggap sudah berlalu. Permusuhan masa lalu yang hanya berdasar konon katanya menyebabkan kita seperti ini, bernapas tapi mematung. Aku mengutuk diriku sendiri yang kesiangan. Seandainya saja aku berangkat sesuai rencana. Masih ada Rizki, Yanuar, Devi, dan Meta yang pasti mampu membunuh keheningan sejak tadi.

Akhirnya sampai juga dan dapat parkir di tempat teduh. Keheningan ini akan segera berakhir karena bergabung dengan yang lain. Entah kenapa reflek kuulurkan sebotol minuman ke arahmu sambil menarik rem tangan. Karena kita gugup, botol terjatuh. Aku berusaha mengambilnya, kamu juga.

“Cieee! Anggap saja kami tak ada,” seloroh seseorang dari kursi belakang, diikuti cekikikan yang lain.

Aku merasa ribuan kupu-kupu menghambur ke mukaku. Gelap. Dalam kegelapan itu ada bayangan tentang awal perjalanan keheningan ini. Rizki, Yanuar, Devi, dan Meta masuk ke dalam mobil. Bersamaan saat kucuri lihat wajahmu dan kurasakan dadaku dipenuhi es batu. (*)



Andik Chefasa, lahir dan bertempat tinggal di Nganjuk. Menulis prosa dan puisi. Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni UN PGRI Kediri. Bukunya berjudul Kereta Mimpi. 


Nio Zaharani, pengajar di SMPN 1 Loceret, bergiat seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.


Posting Komentar untuk "Metaformosa Keheningan"