Puisi J. Akit. Lampacak



Di Atas Pusara Kiai Sajjad Guluk-Guluk


di atas pusaramu

patung bendera merah-putih itu

dari tahun 1947

seteguh tubuh

merah berlumut darah

putih mengenang sedih

tak terkira luas usia

dari jajah ke jarah

doa mencumbu asah.


Sumenep, 2023


*


Tujuh Tembakan Di Kemisan

Kiai Sajjad Guluk-Guluk


juru penyelamat itu

yang sekaligus keramat

mati tertembak di Kemisan;

jiwa ditukar kemerdekaan.


tak ada dalam sejarah perang

kecepatan peluru yang ditolak tubuhnya

sungguh membuat Belanda bertanya-tanya

“Mantra apa yang telah dikendarainya?”


di kejauhan para warga berseru

aku dan kami semua bersaksi

atas kekebalannya 

yang masih misteri.


tapi di Kemisan 

dengan iklas hati ia berkata

“Bunuhlah aku, asal kebebasan itu

kau berikan pada wargaku”

lalu salah satu perajurit itu menghampirinya

ia berbisik, “Tembaklah aku selesai bersolat”


Doaaar, 

tujuh tembakan itu beriringan

entah peluru yang mana;

suara menggelagar

darah berserakan

hingga hari ini,

saat para santri 

masih ziarah ke pusara kiai.


Sumenep, 2023


*


Di Sawahmu

D. Zawawi Imron


berperan di air dan tanah

pandanganku separuh terlena pada buah

padi dan cabai sudah dua hari lalu mulai berilmu

parau warnanya merayu kerut wajah ibu.


sebagaimana ikan bermain di air keruh

setelah datang hujan pada tanah gunung

lumpur di tumitku sebagian jadi pengingat:

dunia hanya sumur di pojok-pojok ladang

dan petani mulai paham,

keindahan dalam hidup

sudah sejak dulu pasangsurut.


maka kugayung air minum dari mata para petani,

dari tangis bayi yang tumbuh tanpa ayah

kusinggahi kemakmuran di situ,

di sawahmu

tempat rindu berwarna ungu.


Sumenep, 2023


*


Alur Batin Dalam Roman Belenggu 

Armijn Pane


pasien itu 

seperti gerak batinmu 

sakit membiru. 

dalam Belenggu, Tini (istrimu) 

larut dalam ketakutan paling petang


rahasia mencegahnya

dalam alur tunggal

yang terpenggal-penggal

di akhir progresif. 


namun piramida

berjalan mundur

turun perlahan

tanpa heran

memandang kedepan.


kau elus cinta dengan samar

tak ada perhatian, 

cuma pasif,

di urutan regresif.


Sumenep, 2023


*


Lukisan Masa

Armijn Pane


sebuah warna merentang mistis

pada sebuah kanvas

mungkin panas

menghantam keras

gugur pun terjadi

dalam mimpi seorang kekasih

yang tenggelam di arus sedih.


tapi di halaman 

nada hujan pertama

beraroma gincu

di sepanjang lantang rindu.


sebab itu

dalam Lukisan Masa

cemburu sangat primitif

cinta jadi alasan

bagi halus penyesalan.


romantisme menguning

di dasar hening

dan kau ungkapkan

warna ungu

yang meranggas

di musim panas.


Sumenep, 2023


*


Solo

Armijn Pane


bagai hujan

Solo bagimu rindu

deras di hari minggu.


sebagai Pujangga Baru

kau patahkan rasa malas

di perut para perjaka

menjelang tahun 1933.


Solo terus memanjang di jarimu,

memanjang mengikuti arah angin

hingga terbit Masgul

di tangan para pencangkul.


lalu kau habiskan malam

di jarum jam yang miring ke kiri

sedang Solo bersunyi

dalam larik ini.


Sumenep, 2023


*


Kepada Kekasih

Aya Varagita


setelah tujuh sajakku gagal kaubaca,

kutulis kesedihanmu pada kemuning

karena angin pada jendela

rentan menghembus makna.


aku tak pernah tahu.

kenapa harus 

kaumenolakku jadi laut. 

padahal telah kubayangkan 

besar ombak mengikis karang

sebelum terseret pasir 

pada hilir.

***

namun hujan dan layangan tak pernah dendam

kautinggalkan kemarau pada sungai

kuisaratkan lekuk tubuhmu pada tanah


kekalpun singgah sekejap

dalam pejam mataku

kematian mengintipmu

lewat jendela belakang

seperti dingin:

datang & pulang.


Sumenep, 2022

(*)


J. AKIT LAMPACAK. Lahir di Sumenep, Jawa Timur. Pengamat sejarah sekaligus penggiat sastra pesantren, sejak 2012 tinggal di Ponpes Annuqayah. Karya-karyanya telah tersiar di beragam media dan buku tunggalnya bertajuk Lampang 2021.


Nio Zaharani, pengajar di SMPN 1 Loceret Nganjuk, bergiat seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.


Posting Komentar untuk "Puisi J. Akit. Lampacak"